Thursday, May 18, 2006

AMBIL SAJA UPAHMU DI SURGA

Ini adalah sebuah kisah temanku yang pernah dia tuturkan saat curhat di meja makan. Begini ceritanya :

Hampir tiga bulan ini hati Felix Maruto gundah gulana. Makan tak enak tidurpun tak nyenyak. Jangan coba menduga-duga kalo dia ini sedang punya selingkuhan baru lho, maklum saja biasanya pria yang punya selingkuhan pasti perilakunya serba tidak nyaman. Tetapi ini bukan karena trend cem-ceman itu melainkan ulah isteri tercintanya, Lucia Tulkiyem yang teramat sibuk.

Sejak terpilih menjadi wanita teladan sekampung, kegiatan tambahan Jeng Tulki, demikian panggilan kesayangan istrinya, jadi tambah banyak. Hampir setiap hari dia minta ijin pada Maruto untuk menghadiri kegiatan di Kantor Kelurahan. Maklum kadhung mengantongi titel wanita teladan, dia harus tetap jaim di depan para pejabat.

“Mas, aku pergi sebentar, ya!” kata Jeng Tulki agak tergesa-gesa. Di lemari makan sudah saya siapkan makan siangnya buat panjenengan sama anak-anak. Trus… nanti siang, tolong jemurannya diangkat yach? Kemarin itu kehujanan semua, aku terpaksa cuci lagi. Jangan sampe lupa, lho!

“Jeng, kamu itu mau ke mana lagi, tho?” tanya Maruto plonga plongo. Baru kemarin ikut penyuluhan posyandu di Kelurahan, sekarang mau pergi ke sana lagi? Memangnya acaranya begitu penting sampai seorang wanita teladan harus tetap hadir?”

“Penting sich tidak, tetapi dengan kehadiranku di sana setidaknya sudah berusaha untuk ikut terlibat dalam kegiatan di masyarakat,” jawabnya penuh diplomatis. Bukankah Kristus sendiri mengamanatkan demikian kepada kita agar kita mampu menjadi garam bagi dunia? Sekarang saatnya aku mau menjadi garam biar semua merasakan enak.

“Jeng, kowe kokh jadi keblinger begini. Menjadi garam dunia itu memang tugas kita tetapi bukan seperti ini caranya. Tidak dengan kemaruk lalu semua kegiatan harus kamu ambil sementara tugas utamamu di rumah terabaikan. Kuwi ngga bener, Jeng! Yang namanya menggarami dunia itu ya sama saja kalo kita menggarami masakan. Tidak ditabur semua tetapi sedikit demi sedikit. Kalo sudah cukup enak, garamnya disimpan untuk besok lagi. Lha ini. garam yang kamu taburkan itu malah terasa jadi pahit karena terlalu banyak dituang. Kasih kesempatan orang lain donk. Dan lagi, memang kelak kamu mau masuk surga sendiri? Apa nggak kesepian kalau isi surga nanti cuma kamu sendiri. Trus, kamu mau cari teman di mana? Di neraka?

“Wis, tho…jangan ngasih kuliah dulu. Ntar aja kalo ujiannya sudah dekat..!” tangkisnya. Aku pergi dulu…!”

“We...lahdala, wong diprenahake kokh malah maidho,” sahut Maruto dengan hati yang serba semrawut.

Sudah hampir seminggu ini hujan memang amat lebat. Berita-berita di TV banyak menyiarkan daerah-daerah banjir. Untung saja rumah Felix Maruto bukan tempat langganan banjir maka selebat amatpun hujan datang dia cukup menatap jatuhnya air ibarat ribuan pasukan terjun payung yang mendarat di bumi.

Selepas makan siang, tiba-tiba Jeng Tulki muncul dari balik pintu sambil cemberut. Katanya : “Dasar panitia kampungan, nggak professional!”

Maruto yang baru saja membaringkan badan, terpaksa bangun dan bertanya : “Lho, memangnya ada apa, kokh datang-datang langsung marah? Minum dulu sana dan dilepas dulu kondenya..”

“Gimana aku nggak keki, sudah dandan cantik-cantik begini kokh aku disuruh pulang dulu untuk ganti baju. Katanya nggak cocok.”

“Memangnya yang harus kamu hadiri itu acara apa?”tanyanya lagi.

“Tadinya yang aku dengar, ada kunjungan kerja Pak Camat ke Kelurahan kita. Panitianya menghubungi aku untuk hadir di sana.” Jawab Jeng Tulki.

“Trus..!
“Trus, dia cuma bilang : Mbak Tulki.. siap ya untuk besok”
“Lalu..?”
“Ya..lalu aku berangkat aja!”
“Acaranya?”
“Huk..huk..huk..! Meninjau lokasi banjir di RW 10….”

“Ya, sudah nggak usah menangis begitu,” hibur Maruto. Lain kali kalau ada kegiatan diluar tanyakan yang jelas arah dan tujuannya yach, jangan sembrono. Sudah, jangan cemberut begitu, toh, upahmu sudah ada di surga. Mau diambil?”. Maruto tersenyum memaknai peristiwa yang baru saja terjadi.

Terkadang kita juga bisa lupa diri manakala jabatan atau kekayaan itu membutakan mata hati kita sehingga tindakan kita tidak bijaksana. Seharusnya semakin banyak jabatan atau kekayaan harus semakin bijaksana. Cuma Kristus yang tidak punya jabatan apapun di dunia tetapi kebijaksanaannya melebihi semua manusia yang ada.

0 komentar: