Tuesday, September 16, 2014

BELAJAR DARI JEMAAT MAKEDONIA

LATAR BELAKANG
Sejarah terjadinya kolekte pada dalam Gereja dan tetap berjalan hingga saat ini adalah karena adanya peristiwa kemiskinan Jemaat Yerusalem jaman itu dan tergeraknya belas kasihan Paulus. Orang-orang Kristen Yerusalem pada jaman Gereja Perdana sedang menderita. Hal itu terjadi karena :
-       dikucilkan,
-       sebagian kehilangan pekerjaan setelah menjadi orang Kristen
-       kelaparan seperti yang terjadi sebelumnya pada era pemerintahan Claudius (Kis 11:28).
Paulus prihatin dengan kesejahteraan mereka. Maka Ia mendorong jemaat-jemaat di daerah lain untuk memberi sumbangan (kolekte) bagi jemaat Yerusalem.

Mulanya jemaat Korintus tergerak untuk terlibat dalam proyek itu ketika mereka pertama kali mendengarnya. Antusiasme ini kemudian menginspirasi jemaat di Makedonia untuk memberi dengan sangat murah hati. Sayangnya, jemaat Korintus tidak melaksanakan apa yang telah menjadi komitmen mereka itu. Dalam 2 Korintus 8-9, Paulus mendesak mereka (Jemaat Korintus) untuk menyelesaikan kebajikan yang telah mereka mulai. Ironisnya, ia menggunakan teladan jemaat Makedonia, yang tertantang kemudian ketika melihat kesediaan jemaat Korintus untuk memberi, sebagai salah satu cara untuk memotivasi jemaat Korintus agar membuktikan kesetiaan mereka terhadap janji mereka. Jemaat Makedonia bukanlah orang-orang yang kaya. Mereka adalah orang-orang yang secara materi sangat miskin, bahkan mereka juga sedang dalam pencobaan yang berat:  keadaan mereka miskin, dan berada dalam penderitaan (2 Kor 8:2).

PRINSIP DASAR PEMBERIAN KOLEKTE/PERSEMBAHAN
Teladan jemaat Makedonia ada di 2 Kor 8, dan melalui pengajaran langsung di bab selanjutnya di 2 Kor 9. Maka setidaknya kita bisa mendapatkan 8 prinsip yang menuntun kita untuk memberi. Kedua bab ini merupakan inti perintah memberi yang ada dalam Perjanjian Baru. Saat kita mempelajari, dan menerapkan prinsip-prinsip yang ada di kedua pasal itu, kita dan Gereja kita akan mengalami sukacita dalam memberi. Ke-8 Prinsip itu adalah :

1.    Kita harus memberi dengan kemurahan hati. (2 Kor 8:2; 9:6-13)
Bisakah kita membayangkan seorang petani kaya hanya menanam sedikit tanaman padi supaya dapat menimbun bijinya yang berharga? Tentu saja tidak. Ia mengetahui bahwa hanya dengan menabur padinya dengan kemurahan hati, maka dia bisa menuai hasil yang berlimpah-limpah.

2.    Kita harus memberi dengan kerelaan hati. (2 Kor 8:12; 9:7)
Tuhan tidak ingin kita memberi hanya karena kita merasa tidak memiliki pilihan lain. Pemberian kita haruslah pemberian yang disertai kerelaan hati. Apakah kita menunjukkan tindakan yang sama di Gereja kita? Apakah kita benar-benar peduli agar umat Allah memiliki kemauan untuk memberi dengan rela hati, ataukah kita sudah berpuas hati selama mereka memberi, meskipun itu dilakukan dengan perasaan enggan?
Memberi adalah wujud ketaatan (2 Kori 9:13). Namun, ketaatan kita itu tidak didorong oleh hukum, melainkan oleh anugerah Tuhan (2 Kor 8:9). Kristus sendiri telah memberikan teladan. Kerelaan hati kita dalam memberi merupakan sebuah respons kasih kita terhadap pengorbanan-Nya.

3.    Kita harus memberi dengan sukacita. (2 Kor 8:2; 9:7)
Apa yang Anda rasakan saat memasukkan uang ke dalam kantong persembahan? Sayang? Atau itu membuat Anda bersukacita karena Anda berbagi dengan orang lain? Pada titik ini, kita mungkin akan tergoda untuk berpikir, "Ayolah, Tuhan. Bukankah memberi dengan murah hati dan rela hati itu sudah cukup?"

Tidak, menurut 2 Kor 9:7, itu saja tidak cukup. Tuhan ingin agar kita memberi dengan sukacita.

4.    Kita harus memberi dengan antusias. (2 Kor 8:3-4)
Kesaksian Paulus "…bahwa mereka telah memberikan menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka. Dengan kerelaan sendiri mereka meminta dan mendesak kepada kami, supaya mereka juga beroleh kasih karunia untuk mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus." (2 Kor 8:3-4)

Dalam pandangan mereka, membantu saudara seiman di Yerusalem bukanlah beban, namun merupakan suatu kehormatan. Dan mereka "mendesak dengan segera" agar diperbolehkan berpartisipasi untuk membantu saudara seiman mereka.
Bagaimana perasaan Anda apabila situasi seperti itu terjadi di Gereja Anda?

5.    Kita harus memberi dengan penuh pengorbanan. (2 Kor 8:2-3)
Mungkin Anda berpikir bahwa jemaat di Makedonia sangat kaya, dan adalah mudah bagi mereka untuk memberi dengan murah hati, rela hati, sukacita, dan penuh antusias. Tidak juga. Apabila mereka masih hidup sekarang, Anda akan menemukan mereka hidup di daerah miskin daripada di lingkungan berada. Rumah mereka pasti adalah gubuk yang berdiri di atas tanah kotor, bukan rumah mewah di lingkungan elite.

Mereka tidak hanya sangat miskin, tetapi juga mengalami "cobaan berat" (2 Korintus 8:2). Kita tidak tahu secara spesifik penderitaan apa yang mereka alami. Akan sangat mudah bagi mereka berdalih dan memberi alasan untuk lebih memerhatikan diri dan kebutuhan mereka sendiri. Namun, jemat Makedonia tidak melakukan hal seperti itu. Mereka adalah pemberi sejati. Meskipun kebutuhan mereka mendesak, mereka memohon agar diizinkan membantu orang-orang percaya yang menderita di Yerusalem. Sungguh sebuah teladan yang luar biasa! Dari kesaksian pengorbanan ini, mereka menunjukkan bahwa memberi adalah suatu kehormatan di mana semua orang Kristen dapat ikut serta, baik yang kaya maupun yang miskin.

6.    Kita harus memberi menurut kemampuan kita. (2 Kor 8:3; 11-12)
Selama ini, tidak ada perhitungan tentang seberapa banyak orang Kristen harus memberi dalam Perjanjian Baru. Yang dikatakan kepada kita adalah bahwa kita harus memberi menurut kemampuan kita.

Mereka yang mempunyai lebih banyak, diharapkan untuk memberi lebih banyak. Mereka yang mempunyai lebih sedikit, diharapkan untuk memberi lebih sedikit. Kita tidak bertanggung jawab akan milik orang lain. Kita diajarkan untuk menjadi pengurus yang setia atas apa yang telah Tuhan percayakan pada kita.

7.    Kita perlu memberi berdasarkan apa yang Tuhan miliki. (2 Kor 8:1-3; 9:8-11)
Prinsip ini menantang kita untuk berpikir melebihi keterbatasan kita. Kita harus memberi berdasarkan apa yang adalah milik Tuhan.

Oleh karena kuasa Tuhanlah maka jemaat Makedonia mampu memberi "lebih dari kemampuan mereka" (2 Kor 8:3). Dan oleh karena berlimpahnya kuasa Tuhan pula yang memampukan jemaat Korintus sehingga mereka berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan" (2 Korintus 9:8).
Itulah yang memungkinkan kita memberi lebih dari kemampuan kita -- tidak hanya memberi menurut kemampuan kita, melainkan menurut kemampuan Tuhan. Ia yang akan menyediakan apa yang kita butuhkan dan memampukan kita untuk "berlimpah dalam kebajikan" (2 Korintus 9:8).

8.    Kita harus memberi diri kita terlebih dahulu kepada Tuhan. (2 Kor 8:5)
Akhirnya, di sini kita mendapatkan kunci dari tujuh prinsip yang ada. Alasan mengapa jemaat Makedonia dapat memberi contoh abadi mengenai pemberian kristiani adalah karena, seperti yang ditulis oleh Paulus, "Mereka memberikan diri mereka, pertama-tama kepada Allah," (2 Kor 8:5).

Oleh karena komitmen itu, mereka memberi dengan murah hati, rela hati, sukacita, dan penuh antusias. Oleh karena komitmen itu pula mereka bisa memberi dengan penuh pengorbanan, menurut kemampuan mereka, bahkan melebihi kemampuan mereka.


Jemaat Makedonia merupakan teladan yang luar biasa untuk prinsip yang mereka coba tanamkan dalam hal pelaksanaan kolekte/persembahan.

Tuesday, December 28, 2010

BELA RASA, JATI DIRI MANUSIA SEJATI - Renungan Natal Uskup Ign Suharyo

KOMPAS.com - Akhir-akhir ini sering dapat dibaca, dilihat, dan didengar di media massa ulasan mengenai watak atau karakter bangsa. Tidak sedikit pula seminar yang diadakan mengenai topik itu.

Dalam salah satu seminar yang diadakan di Semarang dikatakan dengan lugas bahwa kondisi (sebagian) bangsa kita cenderung mengarah pada karakter Kurawa (Kompas, 28 November 2010), yang dalam pengertian umum berarti jelek, jahat, licik, serakah, arogan, culas, tidak punya hati—semuanya demi kekuasaan, kemenangan, dan keuntungan.

Dalam kisah kelahiran Yesus dapat juga dijumpai pribadi-pribadi yang berwatak serupa. Yang paling menonjol adalah Herodes Agung. Ia adalah orang yang begitu gila hormat dan kuasa, sampai-sampai ia memusnahkan silsilahnya untuk menghapuskan jejak jati dirinya yang sesungguhnya.

Setiap orang yang dianggap mengancam kepentingannya disingkirkan, termasuk istri dan anaknya. Inilah yang menjadi latar belakang kisah pembunuhan anak-anak yang diceritakan dalam Mat 2:16-18. Masih bisa disebut nama lain, yaitu Arkhelaus (Mat 2:22), anak Herodes Agung.

Watak serakahnya ada di belakang kisah perumpamaan mengenai uang mina (Luk 19:11-27). Ia dinobatkan menjadi raja oleh Pemerintah Romawi, tentu dengan suap yang hebat karena rakyatnya sendiri sebenarnya membenci dia. Oleh karena itu, ketika berhasil menjadi raja, ia memeras rakyat, tentu dengan maksud untuk memperoleh kembali uang yang ia gunakan untuk menyuap.

Jati diri batin
Yesus yang lahir dapat dipandang sebagai kontras terhadap pribadi-pribadi seperti itu. Ia lahir di palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Luk 2:7). Kendati tempat kelahirannya menurut pendapat umum tidak terhormat, pribadinya tetaplah mulia. Bukan tempat lahir yang menentukan jati diri atau kehormatan seseorang, melainkan diri batinnya.

Ia lahir dari garis yang sering disebut sisa Israel yang menghayati spiritualitas orang-orang miskin Allah. Mereka adalah orang-orang yang hidup berdasarkan janji, setia pada cita-cita awal yang mulia untuk menjadi umat yang hidup menurut jalan-jalan Tuhan.

Dalam bahasa sehari-hari, mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah kehilangan idealisme awal dan tidak pernah mau menggantinya dengan sekadar kekuasaan, gengsi, atau apa pun yang lain. Mereka bukan orang-orang oportunis atau sekadar puas dengan citra lahiriah.

Orang-orang miskin Allah ini adalah orang-orang yang sungguh beriman, bukan sekadar taat beragama. Mereka tidak seperti kaum Zelot yang dengan alasan mencintai hukum Allah, dengan tangan dingin membunuh orang-orang yang mereka anggap mengkhianati Allah.

Mereka juga tidak sama dengan orang-orang Farisi yang dengan dalih agama menindas dan menganiaya yang mereka anggap orang-orang pendosa. Mereka juga bukan seperti orang-orang Esseni yang membenci sesama warga bangsa dengan dalih agama.
Kelompok-kelompok yang disebut terakhir ini adalah orang-orang yang merasa bahwa Allah di pihak mereka, tetapi nyatanya mereka tidak mampu mengambil bagian dalam bela rasa Allah kepada manusia, padahal bela rasa sifat Allah yang utama (Luk 6:36; 2 Kor 1:3).

Dalam arus spiritualitas orang-orang miskin Allah inilah Yesus lahir, bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada padanya (Luk 2:40). Selanjutnya pada waktunya Yesus akan mengatakan, ”Hendaklah kamu murah hati (berbela rasa, compassionate) seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6:36).

Bela rasa inilah yang ditunjukkan Yesus sejak lahir sampai akhir hidupnya sebagaimana dapat dibaca dalam Injil. Berkali-kali dikatakan bahwa Yesus tergerak oleh bela rasa (Mt 14:14; Mrk 6:34; Luk 7:13). Bela rasa adalah jati diri batinnya.

Tergerak oleh bela rasa menunjuk pada inti pribadi, diri batin, pusat hidup manusia yang paling dalam atau dalam satu kata: hati. Dari hati itulah semua yang baik, menyejahterakan, yang menyelamatkan berasal, tumbuh, dan berkembang.

Di tengah-tengah masyarakat yang dikuasai oleh herodes-herodes yang berwatak Kurawa itulah Yesus lahir, bertumbuh dan berkembang. Dia menjadi terang besar yang datang ke tengah-tengah dunia yang gelap (bdk Yoh 1:9).

Selain Yesus yang dengan bela rasanya menjadi Sang Terang, ada terang-terang kecil lain yang juga bersinar. Mereka adalah orang-orang majus dari Timur yang langkah-langkahnya dipimpin oleh bintang (Mat 2:1-12).

Ada pula para gembala sederhana yang jalan-jalannya dituntun oleh malaikat (Luk 2:8-20). Mereka ini adalah kontras-kontras kecil, pribadi-pribadi yang jati dirinya tidak ditentukan oleh kekuasaan, kemenangan, dan keuntungan. Mereka ini adalah terang-terang kecil yang memancarkan Yesus Sang Terang yang sesungguhnya.

Terang-terang kecil seperti ini pun ada banyak tersebar di seluruh negeri kita tercinta: terang kecil itu tampak dalam diri sekian banyak relawan-relawati yang tanpa pamrih membantu saudari-saudara yang terdampak oleh bencana; dalam diri pribadi-pribadi yang berusaha membebaskan saudari-saudara mereka dari isapan lintah darat; dalam diri orang-orang yang dengan tekun mengusahakan pendidikan bagi masyarakat miskin atau terpencil; dan sekian banyak orang yang melakukan usaha mulia yang lain.

Mereka ini bekerja keras dan diam-diam dalam hati berkata, ”Aku bukanlah kekuasaan, kemenangan, atau keuntungan yang dapat kuperoleh; aku adalah hatiku yang kubagikan dalam bela rasa.”

Selamat Natal 2010.
I Suharyo
Uskup Keuskupan Agung Jakarta