Sejak dari masa remaja, aku senang hidup dalam komunitas apa saja. Rasanya ada kepuasan hidup tersendiri yang tak bisa tergantikan. Aku bisa berkomunikasi dengan orang tapi bisa juga disebelin semua orang. Yang terpenting bagiku adalah aku bisa berbagi dengan orang lain. Kelihatannya idealis banget yach, ungkapan ini klise, gitu! Ach, emangnya gue pikirin! Orang boleh menilai apapun atas ungkapanku ini, kokh....
Tapi sebenarnya tujuanku menulis cerita ini bukan soal idealis atau tidak tentang makna hidup dalam komunitas. Semua orang pasti pernah dijejelin ilmu beginian waktu kuliah, apalagi yang ambil jurusan Sosiologi, yang baca sih cuma merep aja. "....jangan kuliahin gue dech, itu makanan gue waktu kere dulu...!" barangkali itu jawaban ketus mahasiswa Sosiolog.
Sahabat.....
Aku cuma mau mengatakan bahwa dari semua komunitas yang pernah aku jalani bareng-bareng, semuanya kokh jadi semacam komunitas kucluk. Maksudku adalah semua kegilaan dan ketidak normalan perilaku komunitasku itu pernah dilakukan. Lalu aku jadi berpikir, jangan-jangan aku yang sebenarnya menciptakan kekuclukkan ini....hm?
Sebut saja jaman sekolah dulu, yang namanya bolos itu sudah biasa dilakukan anak-anak remaja. Tapi aku dan teman-temanku bisa-bisanya masuk sekolah tanpa secarik kertas dan ballpointpun mengikuti pelajaran. Tahu apa maksudnya? Kelas paralel kami menginformasikan bahwa guru Ekonomi ngga masuk karena sakit. Mendengar berita ini, ide kucluk muncul dengan tiba-tiba dan kami berniat kabur dari sekolah pada jam pelajaran itu yang kebetulan berada pada 2 jam terakhir jelang bel pulang sekolah. Lumayan, kalau ditotal 90 menitan kami bisa bolos sekolah. Maka disusunlah rencana untuk membolos dengan cara menitipkan tas-tas kami di warung yang letaknya di luar pagar sekolah. Kalau kami keluar pintu pagar tanpa membawa tas-tas kami, biasanya diijinkan, tokh nanti akan kembali ke sekolah sebab tas-tas kami ada di kelas.
Namun sungguh apes. Rencana buruk kami buyar karena sang guru tiba-tiba muncul dan masuk ke kelas kami pada jam tersebut. Kami cuma terbengong-bengong sambil saling menatap satu dengan yang lain.
"Lho, kami dengar Ibu sakit? Apa sudah sembuh, Bu?" tanya salah satu dari kami.
"Siapa yang bilang? Anak saya yang sakit, kokh!, jawabnya. Hayo kita mulai pelajaran kita.."
Kami, yang berencana ingin ngabur pada jam pelajaran itu jadi gugup karena tas-tas kami berada di seberang sana sementara kami tidak bisa berbuat apa-apa di kelas ini tanpa tas-tas itu. Mengikuti pelajaran tanpa buku dan ballpoint membuat kami benar-benar seperti orang buta kehilangan tongkatnya, ngga tahu harus bagaimana melanjutkan pelajaran.
Akhirnya, ketakutan itu tiba juga. Hukuman yang pantas memang lari keliling lapangan basket 10x di tengah hari bolong.
Sahabat semua.....