Berikut ini adalah tulisan Dr. Martino Sardi mengenai konflik Israel dan Palestina serta bagaimana sikap kita terhadap konflik tersebut. Judul tulisan ini adalah : Mungkinkah Damai Dibangun Antara Israel dan Palestina?
Bertahun-tahun dan seluruh hidup Yasser Arafat dengan PLOnya bagaikan dipersembahkan demi berdirinya negara Palestina kembali. Boleh dikatakan Yasser Arafat berhasil membangun kembali kepercayaan bahwa Palestina akan terbentuk dan menjadi utuh. Kepercayaan itu didukung dari seluruh penjuru dunia. Dan profil Yasser Arafat sangat mengagumkan. Sayang Yasser Arafat hanyalah satu, dan menjelang akhir hidupnya, apa yang dimpikan belumlah terealisasi seluruhnya. Baru beberapa titik saja, itupun masih menyisakan berbagai benturan.
Sepeninggal Yasser Arafat, Palestina pun tetap tercabik-cabik. Baik dari dalam kelompok partai maupun kelompok keagamaan tak mampu menggalang satu tujuan, mendirikan kembali Palestina yang utuh. Perang sesungguhnya dan perang gagasan di dalam kelompok-kelompok Palestina pun terjadi dan menelan begitu banyak korban. Sampai saat ini, Palestina masih menangis dan tidak mampu berdamai di dalam negerinya sendiri. Sulit atau boleh dikatakan tidak mungkin menyatukan berbagai kelompok yang mempunyai wacana dan prinsip yang bertentangan satu sama lain serta tidak ada yang mau mengalah demi perjuangan menjadikan suatu negara yang berdaulat.
Apakah Palestina sekarang ini sudah sebuah negara? Berbagai negara telah mengakuinya dan menerimanya sebagai fakta sejarah. Akan tetapi tidak ada negara lain, selain Palestina yang selalu dirundung pertikaian, konflik dan bahkan perang di dalam negerinya sendiri. Belum lagi menghadapi Israel, yang dianggapnya sebagai musuh yang harus dimusnahkannya. Palestina tidak mampu, namun tidak mau mengakui fakta itu, dan selalu memulai tindakan kekerasan untuk melawan Israel. Dan Israel baru akan melawan sungguh-sungguh bila warganya ada yang mati. Musuhnya bahkan akan dihajar benar-benar, kalau perlu segala kekuatan digunakan untuk menindak orang yang menyebabkan kematian itu.
Mungkin baik kalau kita ajukan suatu pertanyaan penting: Apa yang seharusnya diperlukan sekarang oleh rakyat Palestina? Hidup tenang dan damai. Mereka menginginkan perdamaian. Oleh karena itu tindakan Hamas tidaklah sepenuhnya disetujui oleh rakyat Palestina, bahkan Presiden Abbas pun tidak menyetujui, apalagi Fatah pasti akan menolaknya. Juga berbagai kelompok lain tidak menyetujui tindak kekerasan Hamas. Orang Palestina, dari perjumpaan saya dengan mereka, kebanyakan sudah bosan perang. Mereka ingin damai, dan memiliki negeri yang damai. Apakah itu mungkin? Tampaknya jalan damai masih panjang di Palestina sendiri. Kelompok Palestina tidak bersatu. Ada yang menginginkan damai, tetapi ada yang selalu mau berperang terus.
Kalau kita mengamati Peta Israel, sebenarnya banyak daerah yang siap dikembalikan ke Palestina untuk menjadi negara merdeka. Dalam peta ada warna ungu, sebenarnya sudah siap dan sebagian sudah diserahkan ke Palestina tetapi sebagian besar masih dikuasi Israel. Sebuah contoh yang sangat unik, menarik tetapi sekaligus memelas alias kasihan, ialah kasus kota Betlehem. Kota Betlehem, tempat kelahiran Tuhan Yesus, adalah kota yang diserahkan kembali ke Palestina. Juga kota Ramalah. Ketika ada gerakan intifadah, banyak warga Yahudi atau keturunan Arab berwarganegara Israel yang menjadi korban. Kota Betlehem diancam akan dikurung dan dibentengi oleh Israel, kalau masih terjadi tindak kekerasan. Dan benar, gertakan Israel tidak main-main. Kota Betlehem sejak tahun 2004 dibentengi oleh Israel.
Jalur keluar masuk Betlehem dikontrol dan diperiksa polisi dan tentara Israel. Akibat yang lebih parah ialah: hotel-hotel atau kota Betlehem semakin sepi, semakin miskin dan terkurung. Mereka yang biasanya hidup dari turis, kini harus menderita. Setelah ditembok, warga negara Israel, menurut penuturan mereka sendiri, sungguh merasa aman.
Cukup lama saya menyaksikan dan merenungkan: Betlehem dikurung dan ditembok kokoh kuat dan atasnya dipasangi kawat berduri beraliran listrik tegangan tinggi. Mataku menatapnya, menyaksikan tembok yang digranatpun tidak akan roboh. Sungguh kuat sekali. Tembok Berlin pun belum apa-apanya bila dibandingkan tembok kota Betlehem buatan Israel untuk membetengi diri melawan tindak kekerasan dan kejahatan dari pihak Palestina. Tinggi tembok itu hampir enam meter, kota kelahiran Yesus dikurung dan penduduk sekitarnya mulai merasakan akibat tindak kakerasan yang mau melawan orang Israel. Di jaman globalpun Israel dan Palestina membatasi diri dengan tembok kokoh kuat tak tergoncangkan. Entahlah siapa yang mampu membongkar tembok itu kelak, lambang Israel dan Palestina tidak bermusuhan lagi? Rupanya kekuatan damailah yang akan membongkar tembok itu. Kekuatan perang dan permusuhan hanya akan menciptakan tembok atau pembatas yang lebih mengerikan lagi.
Berbagai daerah dan kota sebenarnya siap diserahkan kepada Palestina kembali, tetapi sayang Palestaina rupanya tidak mampu memenuhi syaratnya untuk melaksanakan damai di daerah itu. Jalur Gaza merupakan tempat yang paling luas negara Palestina. Wilayah-wilayah Palestina lainnya tidak berdekatan, tetapi tersebar jauh-jauh, "pating slebar ora karuwan angel didadek-ake' siji". Wilayah yang paling luas, ialah tepi barat sungai Yordan. Daerah itu luas sekali, membentang dari Laut Mati sampai ke Mesir. Daerah yang masih dikuasi Israel ini sangat strategis, tetapi berupa padang gurun saja. Kecuali tepi sungai Yordan yang memang subur, selebihnya yang ada hanyalah batu, wadas dan pasir saja. Di sepanjang jalan itu tampaklah pemandangan yang terkadang tidak diperhatikan orang. Mataku mengamati jalan raya yang dilalui kendaraan yang menghantarku ke arah Mesir, di sebelah kiri jalan, yang mengarah ke Yordania, kira-kira 12 meter terdapat pagar kawat berduri dua lapis berjarak sekitar satu setengah meter. Kawat berduri itu beraliran listrik tegangan tinggi. Wilayah itu wilayah yang masih rawan. Wilayah yang dikehendaki Palestina, tetapi belum diserahkan ke Palestina. Alasannnya sederhana: bila damai tidak terjadi dan tindak kekerasan tetap berlangsung, tepi barat itu tidak bakal kembali ke Palestina.
Gaza pun dibentengi oleh Israel. Jalan keluar dari Gaza, selain ke Israel, sangat terbatas. Jalan laut sangat tidak nyaman. Dapat diamati Israel dari segala arah. Jalan darat hanya melalui Mesir saja. Jalan itu pun sudah rusak di ujung ke Gaza. Jarak tanah yang lowong ke arah Mesir itu tidak lebih dari empat puluh delapan meter. Itu pun sudah nyaris hancur. Orang-orang di Gaza sulit keluar, selain ke arah daerah yang dikuasi Israel. Gaza sebenarnya telah dikurung Israel. Mau mengungsi ke Mesir, betapa beratnya jalan itu. Padang gurun beratus-ratus km yang hanya ditumbuhi batu-batuan, karang dan pasir, serta tidak ada pohon-pohonan, tidak akan mendukung pejalan kaki. Sungguh akses ke Gaza sangatlah sulit, baik dari luar maupun dalam, kecuali dibuka oleh Israel.
Kalau ada para pejuang yang akan ke Gaza membela Hamas, mau masuk melalui jalan mana? Dan mau berperang melawan siapa? Perang di Gaza bukanlah seperti yang dilukiskan berbagai koran di manan kita seperti perang berhadap-hadapan. Saya tercenung membaca bagaimana koran Kedauluatan Rakyat serta Kompas melukiskan Hamas yang berperang melawan tentara Israel, seperti perang dalam wayang saja. Sungguh fiksi berita itu. Yang selalu membandingkan dengan perang Hesbolah di Lebanon, dan Israel dianggapnya kalah. Bagaimana Israel dapat dikatakan kalah, kalau infra struktur di Lebanon dan banyak korban dari pihak Hesbolah. Perang sungguh tidak manusiawi. Dalam perang semuanya kalah, karena korban berjatuhan dan mati. Perang di Gaza sekarang ini lebih banyak perang media, perang info palsu dan perang mempengaruhi opini publik. Korban perang haruslah menjadi perhatian kita semua
Persoalan Palestina sebenarnya bukanlah hanya persoalan Hamas saja. Memang Hamas berkuasa, tetapi kalau caranya tidak kompromi, saya yakin Palestina yang dicita-citakan oleh Yasser Arafat tidak terlaksana. Rakyat Palestina sekarang ini membutuhkan ketenteraman dan damai: damai di hati dan damai di buminya. Gerakan atau partai Palestina yang suka akan keonaran dan perang, kiranya tidak akan disukai oleh rakyatnya. Rakyat Palestina bosan perang, sekalipun sejak kecil banyak yang meniru melempari batu tentara dan polisi Israel. Lha sejak kecil saja sudah dilatih bertindak kekerasan, apalagi kalau nanti dewasa. Perang pun akan mereka lakukan, sekalupun menyadari bahwa dirinya tidak bakal mampu menundukkan lawan. Namun yakin bahwa Allah dipihaknya dan kalau mati, surga sudah disediakan baginya. Surga apa itu? Keyakinan yang fatal dan konyol bagi pihak lain yang harus menanggung kesengsaraan dan derita.
Para pejuang dan relawan yang siap ke Gaza, ternyata telah banyak sekali. Apakah mereka tahu medannya? Saya teringat ketika saya bertugas di Bosnia-Herzegovina. Orang tidak tahu bahwa perang di Bosnia itu perang suku : Serbia, Croazia dan Bosnia. Perang segitiga yang seru dan hancur-hancuran. Serbia yang berkuasa merasa kuat dan di atas angin. Tetapi ketika pasukan Bosnia (yang muslim) dan Croazia (yang Katolik) bersatu menggempur Serbia (yang Ortodoks), sang penguasa terdesak dan hampir kalah. Sayang ada seruan muslim diserang kristen. Maka ketika pasukan mujahidin yang kebanyakan dari Afganistan masuk, sasaran yang diserang pertama adalah gereja Katolik dan orang Katolik. Padahal mereka itu bersatu sebelumnya. Dan saat itulah Bosnia benar-benar menjadi lautan perang segita yang sesungguhnya.
Tragedi di Gaza bukanlah persoalan agama. Hamas memang muslim, tetapi orang Palestina itu tidak semuanya muslim, banyak yang Kristen dan agama lainnya juga. Palestina tidaklah sama dengan muslim. Orang Palestina itu beragama macam-macam. Para Hamas dan Fatah memang muslim. Dan kalau para pejuang mau ke Gaza itu mau membantu Palestina atau membantu Hamas, karena muslim? Ingatlah Fatah yang dihancurkan oleh Hamas juga muslim. Perang di Gaza bukanlah segampang gerakan tindak kekerasan yang menyerang kelompok berbagai agama seperti kejadian di Monas pertengahan tahun 2008 yang lalu.
Orang Palestina memerlukan persatuan, damai dan kerukunan. Tanpa itu negara Palestina akan tetap kacau, seperti sekarang ini.
Martino Sardi
Tuesday, January 27, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)


0 komentar:
Post a Comment