Tuesday, January 27, 2009

Mungkinkah Damai Dibangun Antara Israel dan Palestina?

Berikut ini adalah tulisan Dr. Martino Sardi mengenai konflik Israel dan Palestina serta bagaimana sikap kita terhadap konflik tersebut. Judul tulisan ini adalah : Mungkinkah Damai Dibangun Antara Israel dan Palestina?

Bertahun-tahun dan seluruh hidup Yasser Arafat dengan PLOnya bagaikan dipersembahkan demi berdirinya negara Palestina kembali. Boleh dikatakan Yasser Arafat berhasil membangun kembali kepercayaan bahwa Palestina akan terbentuk dan menjadi utuh. Kepercayaan itu didukung dari seluruh penjuru dunia. Dan profil Yasser Arafat sangat mengagumkan. Sayang Yasser Arafat hanyalah satu, dan menjelang akhir hidupnya, apa yang dimpikan belumlah terealisasi seluruhnya. Baru beberapa titik saja, itupun masih menyisakan berbagai benturan.

Sepeninggal Yasser Arafat, Palestina pun tetap tercabik-cabik. Baik dari dalam kelompok partai maupun kelompok keagamaan tak mampu menggalang satu tujuan, mendirikan kembali Palestina yang utuh. Perang sesungguhnya dan perang gagasan di dalam kelompok-kelompok Palestina pun terjadi dan menelan begitu banyak korban. Sampai saat ini, Palestina masih menangis dan tidak mampu berdamai di dalam negerinya sendiri. Sulit atau boleh dikatakan tidak mungkin menyatukan berbagai kelompok yang mempunyai wacana dan prinsip yang bertentangan satu sama lain serta tidak ada yang mau mengalah demi perjuangan menjadikan suatu negara yang berdaulat.

Apakah Palestina sekarang ini sudah sebuah negara? Berbagai negara telah mengakuinya dan menerimanya sebagai fakta sejarah. Akan tetapi tidak ada negara lain, selain Palestina yang selalu dirundung pertikaian, konflik dan bahkan perang di dalam negerinya sendiri. Belum lagi menghadapi Israel, yang dianggapnya sebagai musuh yang harus dimusnahkannya. Palestina tidak mampu, namun tidak mau mengakui fakta itu, dan selalu memulai tindakan kekerasan untuk melawan Israel. Dan Israel baru akan melawan sungguh-sungguh bila warganya ada yang mati. Musuhnya bahkan akan dihajar benar-benar, kalau perlu segala kekuatan digunakan untuk menindak orang yang menyebabkan kematian itu.

Mungkin baik kalau kita ajukan suatu pertanyaan penting: Apa yang seharusnya diperlukan sekarang oleh rakyat Palestina? Hidup tenang dan damai. Mereka menginginkan perdamaian. Oleh karena itu tindakan Hamas tidaklah sepenuhnya disetujui oleh rakyat Palestina, bahkan Presiden Abbas pun tidak menyetujui, apalagi Fatah pasti akan menolaknya. Juga berbagai kelompok lain tidak menyetujui tindak kekerasan Hamas. Orang Palestina, dari perjumpaan saya dengan mereka, kebanyakan sudah bosan perang. Mereka ingin damai, dan memiliki negeri yang damai. Apakah itu mungkin? Tampaknya jalan damai masih panjang di Palestina sendiri. Kelompok Palestina tidak bersatu. Ada yang menginginkan damai, tetapi ada yang selalu mau berperang terus.

Kalau kita mengamati Peta Israel, sebenarnya banyak daerah yang siap dikembalikan ke Palestina untuk menjadi negara merdeka. Dalam peta ada warna ungu, sebenarnya sudah siap dan sebagian sudah diserahkan ke Palestina tetapi sebagian besar masih dikuasi Israel. Sebuah contoh yang sangat unik, menarik tetapi sekaligus memelas alias kasihan, ialah kasus kota Betlehem. Kota Betlehem, tempat kelahiran Tuhan Yesus, adalah kota yang diserahkan kembali ke Palestina. Juga kota Ramalah. Ketika ada gerakan intifadah, banyak warga Yahudi atau keturunan Arab berwarganegara Israel yang menjadi korban. Kota Betlehem diancam akan dikurung dan dibentengi oleh Israel, kalau masih terjadi tindak kekerasan. Dan benar, gertakan Israel tidak main-main. Kota Betlehem sejak tahun 2004 dibentengi oleh Israel.
Jalur keluar masuk Betlehem dikontrol dan diperiksa polisi dan tentara Israel. Akibat yang lebih parah ialah: hotel-hotel atau kota Betlehem semakin sepi, semakin miskin dan terkurung. Mereka yang biasanya hidup dari turis, kini harus menderita. Setelah ditembok, warga negara Israel, menurut penuturan mereka sendiri, sungguh merasa aman.

Cukup lama saya menyaksikan dan merenungkan: Betlehem dikurung dan ditembok kokoh kuat dan atasnya dipasangi kawat berduri beraliran listrik tegangan tinggi. Mataku menatapnya, menyaksikan tembok yang digranatpun tidak akan roboh. Sungguh kuat sekali. Tembok Berlin pun belum apa-apanya bila dibandingkan tembok kota Betlehem buatan Israel untuk membetengi diri melawan tindak kekerasan dan kejahatan dari pihak Palestina. Tinggi tembok itu hampir enam meter, kota kelahiran Yesus dikurung dan penduduk sekitarnya mulai merasakan akibat tindak kakerasan yang mau melawan orang Israel. Di jaman globalpun Israel dan Palestina membatasi diri dengan tembok kokoh kuat tak tergoncangkan. Entahlah siapa yang mampu membongkar tembok itu kelak, lambang Israel dan Palestina tidak bermusuhan lagi? Rupanya kekuatan damailah yang akan membongkar tembok itu. Kekuatan perang dan permusuhan hanya akan menciptakan tembok atau pembatas yang lebih mengerikan lagi.

Berbagai daerah dan kota sebenarnya siap diserahkan kepada Palestina kembali, tetapi sayang Palestaina rupanya tidak mampu memenuhi syaratnya untuk melaksanakan damai di daerah itu. Jalur Gaza merupakan tempat yang paling luas negara Palestina. Wilayah-wilayah Palestina lainnya tidak berdekatan, tetapi tersebar jauh-jauh, "pating slebar ora karuwan angel didadek-ake' siji". Wilayah yang paling luas, ialah tepi barat sungai Yordan. Daerah itu luas sekali, membentang dari Laut Mati sampai ke Mesir. Daerah yang masih dikuasi Israel ini sangat strategis, tetapi berupa padang gurun saja. Kecuali tepi sungai Yordan yang memang subur, selebihnya yang ada hanyalah batu, wadas dan pasir saja. Di sepanjang jalan itu tampaklah pemandangan yang terkadang tidak diperhatikan orang. Mataku mengamati jalan raya yang dilalui kendaraan yang menghantarku ke arah Mesir, di sebelah kiri jalan, yang mengarah ke Yordania, kira-kira 12 meter terdapat pagar kawat berduri dua lapis berjarak sekitar satu setengah meter. Kawat berduri itu beraliran listrik tegangan tinggi. Wilayah itu wilayah yang masih rawan. Wilayah yang dikehendaki Palestina, tetapi belum diserahkan ke Palestina. Alasannnya sederhana: bila damai tidak terjadi dan tindak kekerasan tetap berlangsung, tepi barat itu tidak bakal kembali ke Palestina.

Gaza pun dibentengi oleh Israel. Jalan keluar dari Gaza, selain ke Israel, sangat terbatas. Jalan laut sangat tidak nyaman. Dapat diamati Israel dari segala arah. Jalan darat hanya melalui Mesir saja. Jalan itu pun sudah rusak di ujung ke Gaza. Jarak tanah yang lowong ke arah Mesir itu tidak lebih dari empat puluh delapan meter. Itu pun sudah nyaris hancur. Orang-orang di Gaza sulit keluar, selain ke arah daerah yang dikuasi Israel. Gaza sebenarnya telah dikurung Israel. Mau mengungsi ke Mesir, betapa beratnya jalan itu. Padang gurun beratus-ratus km yang hanya ditumbuhi batu-batuan, karang dan pasir, serta tidak ada pohon-pohonan, tidak akan mendukung pejalan kaki. Sungguh akses ke Gaza sangatlah sulit, baik dari luar maupun dalam, kecuali dibuka oleh Israel.

Kalau ada para pejuang yang akan ke Gaza membela Hamas, mau masuk melalui jalan mana? Dan mau berperang melawan siapa? Perang di Gaza bukanlah seperti yang dilukiskan berbagai koran di manan kita seperti perang berhadap-hadapan. Saya tercenung membaca bagaimana koran Kedauluatan Rakyat serta Kompas melukiskan Hamas yang berperang melawan tentara Israel, seperti perang dalam wayang saja. Sungguh fiksi berita itu. Yang selalu membandingkan dengan perang Hesbolah di Lebanon, dan Israel dianggapnya kalah. Bagaimana Israel dapat dikatakan kalah, kalau infra struktur di Lebanon dan banyak korban dari pihak Hesbolah. Perang sungguh tidak manusiawi. Dalam perang semuanya kalah, karena korban berjatuhan dan mati. Perang di Gaza sekarang ini lebih banyak perang media, perang info palsu dan perang mempengaruhi opini publik. Korban perang haruslah menjadi perhatian kita semua

Persoalan Palestina sebenarnya bukanlah hanya persoalan Hamas saja. Memang Hamas berkuasa, tetapi kalau caranya tidak kompromi, saya yakin Palestina yang dicita-citakan oleh Yasser Arafat tidak terlaksana. Rakyat Palestina sekarang ini membutuhkan ketenteraman dan damai: damai di hati dan damai di buminya. Gerakan atau partai Palestina yang suka akan keonaran dan perang, kiranya tidak akan disukai oleh rakyatnya. Rakyat Palestina bosan perang, sekalipun sejak kecil banyak yang meniru melempari batu tentara dan polisi Israel. Lha sejak kecil saja sudah dilatih bertindak kekerasan, apalagi kalau nanti dewasa. Perang pun akan mereka lakukan, sekalupun menyadari bahwa dirinya tidak bakal mampu menundukkan lawan. Namun yakin bahwa Allah dipihaknya dan kalau mati, surga sudah disediakan baginya. Surga apa itu? Keyakinan yang fatal dan konyol bagi pihak lain yang harus menanggung kesengsaraan dan derita.

Para pejuang dan relawan yang siap ke Gaza, ternyata telah banyak sekali. Apakah mereka tahu medannya? Saya teringat ketika saya bertugas di Bosnia-Herzegovina. Orang tidak tahu bahwa perang di Bosnia itu perang suku : Serbia, Croazia dan Bosnia. Perang segitiga yang seru dan hancur-hancuran. Serbia yang berkuasa merasa kuat dan di atas angin. Tetapi ketika pasukan Bosnia (yang muslim) dan Croazia (yang Katolik) bersatu menggempur Serbia (yang Ortodoks), sang penguasa terdesak dan hampir kalah. Sayang ada seruan muslim diserang kristen. Maka ketika pasukan mujahidin yang kebanyakan dari Afganistan masuk, sasaran yang diserang pertama adalah gereja Katolik dan orang Katolik. Padahal mereka itu bersatu sebelumnya. Dan saat itulah Bosnia benar-benar menjadi lautan perang segita yang sesungguhnya.

Tragedi di Gaza bukanlah persoalan agama. Hamas memang muslim, tetapi orang Palestina itu tidak semuanya muslim, banyak yang Kristen dan agama lainnya juga. Palestina tidaklah sama dengan muslim. Orang Palestina itu beragama macam-macam. Para Hamas dan Fatah memang muslim. Dan kalau para pejuang mau ke Gaza itu mau membantu Palestina atau membantu Hamas, karena muslim? Ingatlah Fatah yang dihancurkan oleh Hamas juga muslim. Perang di Gaza bukanlah segampang gerakan tindak kekerasan yang menyerang kelompok berbagai agama seperti kejadian di Monas pertengahan tahun 2008 yang lalu.

Orang Palestina memerlukan persatuan, damai dan kerukunan. Tanpa itu negara Palestina akan tetap kacau, seperti sekarang ini.

Martino Sardi

Thursday, January 22, 2009

Membangun Sikap Bijak Terhadap Issue Israel dan Palestina


Ini mungkin sekedar informasi yang tidak pernah kita jumpai di media sebab musababnya Israel menggempur Gaza. Berikut petikan cerita dari Dr. Martino Sardi :


Sebelum umat Yahudi di Israel dan di luar Israel merayakan Hari Raya Hannukka, Pesta cahaya, yang berlangsung 10 hari dalam minggu terakhir bulan Desember 2008 ini, saya sudah merasakan akan ada serangan Hamas ke wilayah Israel di Jalur Gaza. Persis ketika lilin yang ketujuh dinyalakan, dan masih menyusul tiga lilin lagi yang harus dinyalakan berikutnya, dugaan saya menjadi kenyataan. Televisi Israel 1 menyiarkan tragedi bagaimana sengsaranya warga negara Israel menjadi korban akibat hantaman roket yang diluncurkan oleh Hamas. Pihak Israel masih sabar. Tidak langsung membalas.

Orang Yahudi pada umumnya taat akan hukum Taurat Musa, tidak boleh melakukan pembunuhan terhadap siapapun, kecuali untuk membela diri dan melindungi warganya. Berbagai peringatan diserukan, agar tindakan Hamas meluncurkan Roket itu dihentikan. Dan ancaman pun diserukan: “Kalau ada warga negara Israel sampai mati, maka tindakan itu tidak dapat ditolerir lagi, dan pasukan Israel akan siap meminta pertanggungjawabannya”.

Benarlah tragedi berikutnya terjadi. Lontaran roket menghantam warga sipil, empat orang berkebangsaan Israel mati sangat mengerikan. Kematian warganya, bagi orang Yahudi merupakan suatu yang harus diperhitungkan. Prinsip yang selalu dipakai oleh tentara Israel benar-benar diterapkan: warganya dibunuh, maka yang membunuh harus berani menanggung risiko.

Dan Israel mulai mengadakan tindakan militer. Dua pesawat dikirim untuk melumpuhkan pusat Hamas. Dan akibatnya terjadi banyak korban. Korban jatuh bukan hanya pasukan Hamas saja, tetapi juga penduduki sipil. Kedua belah pihak sudah menderita dan banyak korban berjatuhan.



Kita dapat bertanya: Siapakah yang salah dalam konflik ini? Semuanya salah, karena semuanya telah mengorbankan sesama manusia. Banyak manusia mati, akibat tindak kejahatan kedua belah pihak.

Awal tragedi dan pertikaian ini tidak banyak yang meliput secara internasional. Saya yang berada di Yerusalem dan selanjutnya ke daerah tepi Barat, sungguh merasakan betapa nyawa manusia dikorbankan dengan gampangnya. Hentakan roket dari pihak Hamas selanjutnya tampak tak terarah, dan banyak yang dapat ditangkis oleh pihak Israel, apalagi setelah ada kapal yang benderanya tidak jelas, tenggelam di laut internasional. Mungkin kapal itu milik Hamas dan tenggelam, karena mengarah ke Gaza.

Tindakan yang sulit diterima oleh orang Yahudi ialah hari Raya Hannukka dikotori dengan tembakan roket dari pihak Hamas. Dan kalau kita meneliti dari seluruh perang melawan Israel, perang selalu dimulai dengan mengadakan serangan ke pihak Israel pada saat orang-orang Israel yang beragama Yahudi mengadakan hari raya atau pesta keagamaannya. Pesta keagamaan yang dianggap suci dikotori oleh pihak lain dengan memprovokasi serangan senjata berat atau roket. Orang Yahudi tidak akan bereaksi, bila belum ada yang mati. Baru setelah ada yang mati, reaksi tentara Israel tidak dapat dicegah lagi.

Kita mengenal perang 6 hari. Tentara Israel baru menyerang, ketika dari pihaknya telah terbunuh dua orang warga sipil dan seorang polisi. Pembalasan Israel tidak tanggung-tanggung, dan Mesir pun kalah. Daratannya dikuasi sampai mendekati terusan Suez.

Orang akan ingat nama Mose Dayan, seorang pimpinan bermata satu, yang sanggup mengalahkan musuhnya dalam waktu cepat. Seluruh perang dengan Israel selalu berawal dari tindakan menodai hari suci orang Yahudi itu, dan serangan dari pihak Israel baru dilaksanakan bila sudah ada yang mati dari pihak Yahudi. Hal itulah yang biasanya dikatakan sebagai tindakan membela diri, membela warganya, dan pihak yang membunuh haruslah bertanggungjawab.

Bagaimanakah menyikapi tragedi tanggal 27 Desember 2008 sampai saat ini? Kedua-duanya salah dan jahat, karena adanya korban! Kita menyaksikan adanya banyak orang yang marah terhadap Israel yang dinilainya biadab (Baca Kompas tulisan Hamid Awaludin, Dubes RI untuk Russia) dan bahkan telah banyak orang yang mau ke jalur Gaza untuk berjihad melawan tentara Israel.

Bagaimanapun juga harus kita katakan bahwa perang itu tidak beradab. Kedua belah pihak, Hamas dan tentara Israel, keduanya tidak beradab. Hamas memang merasa hebat, karena telah melumpuhkan sesama muslim, yakni Fatah. Dan Hamas tidak mau menempuh jalan damai. Prinsip Hamas: Tiada damai, sampai Israel dikalahkan. Bagaimana kekuatan kecil itu mampu mengalahkan tentara Israel? Keyakinannya ialah Allah dipihaknya dan akan membantunya dan mati melawan Israel jaminannya surga.
Sikap kritis kita harus kita bangun dalam menyaksikan berita-berita sekarang ini.

Media tampaknya tidak lagi menjadi media yang berprinsip para peace journalism lagi, tetapi lebih provokatif yang membangkitkan konflik. Perhatikanlah berita-berita yang ditayangkan itu, apakah gambar dan filmnya itu benar-benar dari Gaza? Ataukah lebih banyak hanya arsip film perang dari daerah lain. Sekarang ini di daerah Gaza dan Israel itu musim dingin. Daun-daun yang ada hanyalah daun cemara. pinus dan kurma (sejenis kelapa). Bagaimana tampak banyak tanaman di daerah perang itu, yang menandakan musim panas. korban-korban tampak di rerumputan hijau atau di bangunan yang ada bukan khas Gaza, tetapi di Libanon? Kalau Anda pernah ke Gaza akan terasa aneh sungguh berbagai tampilan siaran itu. Banyak yang bukan dari Gaza, alias banyak yang dipalsukan. Sungguh suatu perang media. Sayang, kalau opini publik justru dibangun dari berbagai berita, tayangan gambar, flim palsu, bukan fakta dari Gaza itu sendiri. Inilah suatu kejahatan baru.

Martino Sardi

SECUIL PIDATO OBAMA - Sebuah refleksi untuk kita.


"....Bagi para pemimpin dunia yang berusaha menanam bibit konflik, atau menyalahkan dunia Barat atas kesulitan-kesulitan yang dialami masyarakatnya, ketahuilah bahwa rakyat Anda akan menilai Anda pada apa yang Anda bangun, bukan pada apa yang Anda musnahkan. Bagi mereka yang hendak menggenggam kekuasaan melalui korupsi dan kekejian dan membungkam orang yang tidak setuju pada kebijakan mereka, yakinlah bahwa kalian berada pada sisi yang keliru, tapi kami akan mengulurkan tangan jika kalian tidak lagi mengepalkan tinju..."

Ini adalah sepenggal paragraf pidato Obama dalam inagurasi pelantikannya sebagai Presiden Amerika ke-44 tanggal 20 Januari 2009. Cukup menarik untuk dikaji karena selama ini kita yang paling gencar untuk berusaha menantang kebijakan AS terhadap dunia (Islam, khususnya) manakala ada pergesekan yang berujung merugikan kelompok yang kita perjuangkan.

Belum lama ini ketika agresi militer Israel menggempur Gaza selama hampir sebulan (sejak 27 Desember 2008 hingga 19 Januari 2009), Indonesia paling ngotot untuk urusan tantang-menantang. Banyak macamnya, misalnya : memboikot produk AS, memboikot produk Israel, membakar bendera, demo di kedutaan, dsb. Cukup baik pula jika tidak diakhiri dengan sikap anarkis.


Kita menjadi seperti bangsa yang (sudah) tidak memiliki budi pekerti atau mungkin sudah kehilangan sama sekali sikap ramah yang dulu pernah disandang selama berabad-abad. Jika mau bercermin diri, kita ini seperti bangsa yang tidak memiliki karakter yang patut disejajarkan dengan bangsa lain manakala kita kehilangan daya berpikir logis dan lebih mengedepankan emosi yang meluap-luap. Inikah bangsa yang disebut 'macan tidur?"

Mari segera bercermin diri mengapa kita menjadi demikian berubah? Kita memang bangsa besar (karena wilayahnya), tetapi bukan bangsa yang (bersedia) berbesar hati menerima atas segala keterbatasan kita.

Kembali ke petikan pidato Obama di atas bahwa konflik terhadap barat (AS/Eropa) adalah cermin ketidakmampuan pemimpin dunia terhadap apa yang dibangunnya. Nah lho! Bagaimana nih dengan Indonesia? Ada benarnya juga sih. Lihat aja! Kita ini bisa sedemikian berubahnya karena kita tidak berhasil membangun manusia Indonesia yang baik. Setiap kekurangan adalah kesalahan orang lain bukannya berusaha berbenah diri. Ini adalah sebuah refleksi yang bagus untuk kita. Tinggal bagaimana kita mau menanggapinya. Jika penuh emosi, boikot sana boikot sini, bakar sana bakat sini maka akan selamanya kita menjadi bangsa yang 'termehek-mehek' walau hanya sekedar duduk berdampingan dengan mereka.

Karenanya Anda akan tahu harus memilih siapa untuk memimpin bangsa yang sudah termehek-mehek untuk bersikap kritis tetapi tidak urakan. Memilih partai mana yang punya sikap kritis tetapi bukan tarzan yang ikut boikot-boikotan.

Siapa saja mereka, itu bukan urusan saya!