ORANG INDONESIA LEBIH MEMBELA
AGAMA DARIPADA IMAN
Ungkapan ini menjadi keprihatinan bersama beberapa awam Katolik dalam diskusi terfokus yang diadakan Gerbang untuk melihat rencana pengkajian RUU Kerukunan Umat Beragama oleh Komisi VI DPR RI.
Tino, seorang aktivis FAMRED, mengatakan bahwa sejak lahir seorang anak justru dikenalkan pada agama lebih dahulu daripada iman itu sendiri. Akibatnya penghayatan iman dalam diri orang itu tidak ada. Maka tidak heran, jika orang Indonesia lebih membela agamanya daripada nilai iman yang dihayatinya sendiri. Pernyataan ini didukung oleh semua peserta diskusi yang melihat bahwa agama hanyalah sebuah institusi yang mengandung banyak symbol dan cara-cara dalam menghayati iman itu sendiri. Bahwa inti dari agama itu adalah iman.
Melihat penghayatan agama yang lebih daripada iman itu sendiri justru telah memungkinkan terjadinya banyak konflik yang bersumber ataupun memakai otoritas agama. Setidaknya inilah yang mendasari Order Baru menempatkan isu SARA di tempat terlarang. Termasuk di dalamnya ide pembentukan RUU Kerukunan Antar Agama yang telah diajukan sejak 1996 oleh Tarmizi Taher.
Setelah 4 tahun ide ini tidak ditanggapi oleh semua agama karena RUU ini dirasa telah menyempitkan makna kerukunan social, Komisi VI justru memunculkan kembali ide pengkajiannya setelah melihat kondisi sosial politik di Indonesia. Kerusuhan-kerusuhan yang memakai otoritas agama telah menjadi pendorong utama upaya pengkajian ini.
Namun, seperti yang telah diungkap di atas, upaya ini menjadi percuma jika tetap pemahaman iman tidak ada. “Bahkan dengan pemahaman ini, RUU Kerukunan Antar Umat Beragama justru bisa menjadi penghambat hak asasi manusia dalam beragama/beriman”, ungkap Bambang. Setidaknya hal ini terjadi di beberapa produk hukum lainnya. Ketika ada 3 bentuk hukum (positif, agama, dan adat), hukum positif inilah yang justru menjadi penentu dan penghambat hukum-hukum lain. Padahal dalam setiap komunitas, masyarakat memiliki hukumnya sendiri yang disebut hukum agama dan adat. Hendaknyalah hukum positif mengadopsi hukum-hukum tersebut agar persinggungan yang terjadi tidak keras dan tetap bertujuan membentuk masyarakat damai. Sedangkan yang terjadi justru hukum positif mengatasi kedua hukum ini. Seperti yang terjadi pada HPH (Hak Penggunaan Hutan), di mana tanah-tanah HPH secara adat diatur oleh hukum adat masyarakat setempat, namun hak masyarakat ini justru dilanggar oleh hukum positif yang dianggap lebih kuat karena produk Negara.
Jika melihat kasus di atas, maka RUU Kerukunan Antar Umat Beragama ini bisa mengakibatkan kasus yang mirip. Seperti yang sudah terjadi dengan SKB 3 mentri yang memerintahkan pembangunan rumah ibadah harus disetujui oleh masyarakat sekitar. Akibat dari peraturan ini justru makin memperlihatkan dan membedakan komunitas-komunitas antar agama. Sebagai contoh, jika RT 05 memiliki warga beragama Kristen lebih banyak daripada agama lainnya, maka gereja banyak didirikan di wilayah itu. Sementara diwilayah lain, yang terjadi sebaliknya. “Jika demikian, maka RUU Kerukunan Antar Umat Beragama tidaklah relevan mencegah atau mengatasi konflik yang mengatasnamakan agama”, jelas Eddy Juwono. Justru yang lebih relevan adalah hukum adapt atau hukum yang dibuat masyarakat bawah itu sendiri dalam mengatur kehidupan sosialnya. Secara politis akhirnya, RUU ini lebih digunakan oleh elit-elit politik untuk mengontrol masyarakat seperti yang selama ini terjadi.
Maka tentunya sekarang kita perlu bertanya lagi, perlukah RUU Kerukunan Umat Beragama jika kita sendiri sudah mampu mengimani kehidupan ke-Katolikan kita? Masih perlukah RUU Kerukunan Umat Beragama jika kita sudah mampu mengimani manusia lain, tanpa pandang bulu, sebagai penjelmaan Kristus sendiri? Tapi tentunya yang terpenting adalah, apakah kita sendiri sudah menghayati iman Kristiani itu sendiri, atau kita masih menanggap beragama tidak sama dengan beriman? (Ren)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)


0 komentar:
Post a Comment