Thursday, August 23, 2007

BERJUMPA TUHAN, CAPEKKAH??

Suatu ketika di sebuah chat room ada sebuah percakapan. Ini aku copy paste dari aslinya

My friend : kamu paroki mana?
Jeng : Paroki St. Mikael..njenengan?
My friend : aku di St. Anna
Jeng : kalo misa yang jam berapa pak
My friend : aku mah jarang misa, biasanya diwakili anak istri
Jeng : kenapa? Minggu, kerja juga?
My friend : udahlah...biar gereja ga sesak
Jeng : gak sesak juga kok. Yang sesak itu malah mall je, pak
My friend : heheheh sibuk n capek
Jeng : nyari duit..gak cape..nyari Tuhan kog cape ya..
My friend : @#$!%!

Ini mungkin saja merupakan percakapan yang sangat biasa atau karena sudah menjadi kebiasaan maka akhirnya jadi biasa-biasa saja. Dan bukan tidak mungkin itu juga terjadi pada kita yang setiap hari dari Senin hingga Jumat kerja keras selama 8 jam lebih hanya demi uang yang akan kita dapat begitu angka 25 dalam tiap bulan sudah dipenghujung hari. Lalu terbayang betapa enaknya Sabtu dan Minggu bisa istirahat di rumah.

Konon katanya Tuhan memang sudah tidak bekerja lagi dalam arti mencipta ketika penciptaan dunia sudah terjadi. Entahlah jika Dia masih juga bekerja setiap hari hingga kini karena Dia bertanggung jawab terhadap ciptaanNya maka Dia bekerja untuk memeliharanya tanpa istirahat. Bahkan Dia tidak merasa lelah menunggu kita untuk hadir menjumpainya di mezbahNya dalam suasana yang penuh ceria penuh bakti.

Kenapa kita merasa capek pergi ke rumahNya sementara Dia tidak pernah lelah menunggu kita di mezbahNya, di rumahNya yang kudus. Contributor : Jeng Diana (Sunter)

Tuesday, August 21, 2007

DISKUSI RINGAN

MENGGEREJA DI DALAM DUNIA KERJA
Mengulas diskusi
KPKP-Jakarta dengan Romo Sandyawan Sumardi, SJ


MAKNA “MENGGEREJA”
Jika mendengar kata ‘menggereja’ umumnya kita berpikir bahwa aktivitas ini tidak jauh dari seputar altar. Menurut buku katekismus modern Gereja Katolik, hidup menggereja adalah hidup dalam persekutuan dengan sesama orang beriman sehingga terdapat saling menolong, mendukung dan mengisi. Dalam hal ini Gereja adalah umat beriman kepada Allah melalui Yesus Kristus dalam bimbingan Roh Kudus yang didirikan supaya mewujudkan Kerajaan Allah di dunia.

Setiap orang bisa saja mengartikan kata menggereja itu berdasarkan sudut pandangannya masing-masing tetapi tentu tidak menghilangkan kata kuncinya yaitu mewujudkan “Kerajaan Allah di dunia” karena memang ini yang menjadi tujuan utamanya.

Sandyawan Sumardi, seorang klerus dari Jesuit yang juga aktivis kemanusiaan di Indonesia, dalam diskusinya dengan KPKP-Jakarta, mengutarakan makna lain dari kata menggereja ini. Beliau mengatakan bahwa menggereja itu berarti mengaktualisasikan kehadiran Kristus di dunia. Bahkan dilontarkan pula makna menggereja ini secara lebih luas yaitu membuka komunikasi iman seluas mungkin agar semua orang bisa menjadi partner kita untuk bekerja sama dalam memperjuangkan Kerajaan Allah di dunia seperti yang diwartakan oleh Kristus. Sangat luas karena memberikan ruang yang tidak dibatasi oleh iman yang sama.

AKTIVITAS MENGGEREJA PADA UMUMNYA
Kegiatan menggereja umumnya dilandasi oleh 3 hal yaitu pewartaan, pengudusan dan pelayanan. Dan dalam sejarah Gereja, termasuk Gereja di Indonesia, ketiga hal ini tidak pernah lepas dalam setiap tugas Gereja dan dilakukan secara bersamaan. Maka tidak mengherankan jika Gereja mempunyai ‘trade mark’ sebagai pioneer sampai saat ini dan itu cukup diakui oleh pihak diluar Gereja. Yang namanya pelayanan apapun jenisnya jika berada di bawah pengawasan Gereja mendapat penilaian lebih di kalangan masyarakat.

Namun demikian, dalam situasi tertentu nampaknya kita cukup terlena dengan trade mark ini sehingga tugas menggereja, misalnya saja dalam hal pelayanan kemanusiaan, sayangnya tidak lagi mampu menyentuh essensial tugas kemanusiannya, di mana seharusnya manusia, dalam kesatuan dan keutuhan jiwa dan raganya, dengan hati serta nuraninya, dengan budi dan kehendaknya adalah poros segala kegiatan Gereja. Umumnya yang banyak terjadi saat ini adalah bahwa aktivitas pelayanan kemanusiaan muncul hanya karena sebatas legalitas saja. Banyak umat Kristen yang [sebenarnya] tahu mengenai kewajiban untuk saling menolong dengan saling menanggung beban, namun hanya menunggu sampai ada yang memulai atau ada perintah dari atas (hierarkhi). Padahal seharusnya tidaklah demikian. Terkadang unsur legalitas menjadi penghambat tindakan kemanusiaan yang semestinya menjadi bagian dari tugas Gereja.

MENGGEREJA DI DALAM DUNIA KERJA
Bagi kita, umat Katolik Indonesia yang minoritas, menggandengkan kata ‘menggereja’ dan ‘dunia kerja’ memiliki keunikannya sendiri. Mengapa demikian?

Jika menoleh kembali pada definisi menggereja seperti yang ditulis dalam katekismus modern Gereja Katolik, maka makna itu akan hilang dengan sendirinya karena persekutuan yang terjadi dalam dunia kerja kita adalah persekutuan serba majemuk/pluralis bahkan mungkin saja kita ini menjadi seorang diri di tengah mayoritas. Lalu apa maknanya menggereja di dalam dunia kerja?

Harus diakui bahwa aktivitas dunia kerja kita ini sangat menyita waktu dan tenaga sehingga kita tidak mampu lagi menyempatkan diri untuk berkumpul dengan sesama umat beriman melakukan aktivitas gereja. Namun demikian, sebagai anggota Gereja, kita mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas pokok Gereja itu di tengah masyarakat dan kelompok masyarakat mana lagi yang sering kita jumpai kalau bukan masyarakat dunia kerja atau kantor. Di kelompok masyarakat inilah kita siap membajak dan di sinilah sarana alternatif itu bagi kita Bagaimana melakukan aktivitas ini?

Pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu bahwa Gereja adalah tubuh Kristus. Kehadiran Gereja berarti mewartakan kehidupan Kristus. Itu berarti pula bahwa kehadiran kita [yang adalah anggota Gereja] harus mampu mewartakan kehidupan Kristus dengan benar di tengah masyarakat melalui aktualisasi sikap hidup Kristus dalam diri kita. Maka misi pewartaan itu sudah melekat dalam diri kita.

Menggereja di dalam dunia kerja bukan semata-mata melakukan aktivitas iman di tengah masyarakat kantor dengan motivasi agar mereka mengikuti kita melainkan melakukan karya atau tindakan atau sikap hidup yang benar yang sama seperti sikap hidup Kristus di antara mereka. Yang mungkin dilakukan adalah berkarya dengan etika kerja yang baik misalnya saja ‘tidak korupsi’, tidak mangkir, tekun bekerja, semangat kerja yang tinggi dsb. Dengan melakukan sikap kerja yang baik itu secara tidak langsung kita sudah membuka komunikasi iman.

Maka bukan tidak mungkin jika menggereja di dalam dunia kerja terlaksana justru dari perilaku kerja kita yang baik yang bisa diteladani sehingga lewat komunikasi iman ini semua orang bisa menjadi partner kita untuk bekerja sama dalam memperjuangkan Kerajaan Allah di dunia tanpa harus menjadi Katolik.

Semangat menggereja seperti ini yang sangat dikagumi oleh Gereja karena berani menyatakan imannya seorang diri dalam komunitas yang plural atau malah dalam komunitas yang mayoritas.

GEREJA WARTEG atau GEREJA SUPERMARKET
Mengkritisi keadaan gereja saat ini yang berkesan ‘sangat’ mewah bahkan ada kebanggaan tersendiri karena memiliki gereja yang mewah sehingga ini menjadi semacam batu sandungan bagi masyarakat.

Romo Sandyawan SJ membuat ilustrasi yang cukup menggelikan yaitu bahwa gereja yang baik itu sebenarnya harus seperti sebuah warteg. Gereja seperti warteg mempunyai makna bahwa kehadiran gereja harus bersifat hangat, saling menyapa, dan memiliki empati terhadap segala kesulitan. Seperti kita ketahui bahwa di warteg siapa saja bisa datang meski hanya bersandal jepit atau berbau keringat. Semua orang bisa datang tanpa melihat status dan golongan. Apalagi jika kita saling mengenal, perasaan empati bisa muncul andaikan ada permasalahan yang dibicarakan mendapatkan solusi berdasarkan pada pengalaman satu dengan yang lain tanpa disuguhi nasehat-nasehat standar etika moral yang sudah pasti tidak mereka pelajari. Solusi berdasarkan pengalaman memberikan nilai tersendiri dalam komunitas warteg.

Lain halnya jika gereja itu mirip supermarket di mana untuk memasuki supermarket saja harus mengenakan pakaian yang bagus, tidak bersandal jepit, apalagi berbau keringat. Memiliki uang yang banyak mungkin saja dibutuhkan karena yang dijualpun harganya tidaklah murah. Fasilitas yang baik biasanya dibarengi dengan biaya yang tinggi yang secara tidak langsung dibebankan oleh pengunjung supermarket itu. Tidak ada sapaan di sana apalagi cerita. Orang bisa datang dan pergi setelah semua kebutuhan terpenuhi tanpa peduli dengan orang lain. Tidak ada kehangatan di supermarket, yang ada sikap apatis. Kalau ada permasalahan di supermarket maka solusi yang ada adalah tindakan atau nasehat yang sudah memiliki standar etika moral tanpa disuguhi pengalaman. Semua berjalan dengan penuh prosedural. Akankah situasi gereja kita ini seperti supermarket?

Ilustrasi di atas bisa memberi gambaran untuk sebuah gereja dalam arti bangunan maupun komunitas. Lewat ilustrasi itu juga, kita bisa menjadikan diri kita sebagai Gereja yang mirip warteg dalam arti kehadiran kita seharusnya tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain, punya kehangatan, memiliki sikap empati yang baik, dan tidak menutup diri terhadap orang lain hanya karena perbedaan status atau golongan. Pada akhirnya, semangat menggereja harus diawali dari diri kita sendiri dengan menjadikan diri kita sebagai Gereja yang menjadi saluran berkat dengan meneladani sikap hidup Kristus di tengah komunitas kita yaitu dunia kerja perkantoran sehingga tujuan akhir mewujudkan Kerajaan Allah di dunia bukan cuma mimpi belaka.
SEKILAS MENGENAL SEKTE-SEKTE YUDAISME

Dalam agama Yudaisme kita mengenal ada 4 sekte besar yang ditulis dalam Kitab Suci terutama pada masa-masa Yesus. Sebagian malahan mendominasi kursi Sanhedrin yaitu suatu lembaga tinggi atau dewan agung bangsa Yahudi. Sekte-sekte tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sekte Saduki
Orang-orang Saduki berasal keluarga imam yang berpengaruh, keturunan Zadok yang melayani bait Allah pada masa pembuangan. Orang Saduki berasal dari suku Lewi (Yeh 44:15). Sesudah memiliki kuasa religius (sebagai imam) dan mengontrol lebih banyak kursi di Sanhedrin, mereka mendominasi juga bidang politik dengan memanfaatkan sebaik-baiknya penjajahan Romawi. Imam Agung Yusuf bin Kayafas yang melakukan persekongkolan untuk membunuh Yesus berasal dari sekte ini. Jika kita membaca cerita tentang kematian Yesus, kita akan mengerti benar betapa orang-orang Saduki ini pandai memanfaatkan situasi negeri untuk kepentingannya sendiri dengan mempengaruhi keputusan Pontius Pilatus ketika mengadili Yesus. Jadi bila kita bertanya tentang orang Yahudi mana yang paling bertanggung jawab atas rekayasa pembunuhan ini, maka jawabannya adalah orang Saduki dalam hal ini Yusuf bin Kayafas. Karena intrik-intrik politik yang dilakukannya berhasil menyeret Yesus ke tiang penyaliban.

Ajaran-ajarannya :
Keselamatan yang mereka kenal adalah keselamatan berdasarkan komunitas bangsa [Yahudi]. Mereka tidak mengenal kebangkitan orang mati, malaikat dan roh. Mereka mencurigai para nabi yang ajarannya memungkinkan terjadinya perpecahan bangsa (Kis 23:8 dan Mrk 12:18) Kuatnya mereka memegang hukum Musa karena terutama untuk menjaga privilese para imam yang mendatangkan keuntungan. Karena itulah Yesus dengan terang-terangan menyatakan bahwa mereka benar-benar sesat (Mrk 12: 24, 27)

2. Sekte Farisi
Orang-orang Farisi berasal dari orang-orang Hasidim yang memisahkan diri dan telah membaharui roh iman 150 tahun sebelumnya. Seperti kita ketahui bahwa orang-orang Hasidim adalah orang-orang yang gigih menentang kebijaksanaan penguasa Yunani yang ingin menghilangkan tradisi Yahudi dan memasukkan budaya Yunani pada masa raja Antiokhus IV. Kelompok ini menamakan dirinya Hasidim yang artinya orang-orang yang saleh. Kelompok inilah yang diceritakan dalam 1 Makabe 2 :42 bergabung ke pasukan Matatias untuk berperang.

Mereka masuk ke dalam partai/sekte orang-orang tahir dan kebanyakan ahli hukum Taurat berasal dari sekte ini (Mrk 2:16). Lebih dari 100 tahun kelompok ini menjadi anggota Sanhedrin bersama dengan orang Saduki meskipun mereka saling memusuhi.

Sesudah tragedi perang Yahudi tahun 66, orang-orang Farisi menjadi penuntun bangsa yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Semenjak itu, orang-orang Farisi paling giat meng-ekskomunikasi orang-orang Yahudi yang dipermandikan.

Ajaran-ajarannya :
Orang Farisi sama seperti kelompok asalnya. Orang-orang awam ini tidak terlalu mementingkan ibadah di Bait Allah tetapi lebih pada pelaksanaan Hukum. Mereka sungguh menuntut tanggung jawab individu yang diselamatkan oleh kebaikan mereka sendiri di hadapan Allah yang adil yang mengganjarinya. Mereka sangat percaya akan kebangkitan orang benar setelah mati dan mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankan keyakinannya. Dalam Kitab Suci, Yesus amat sering mengecam orang-orang ini, sama seringnya dengan orang Saduki, karena kemunafikan mereka serta gila hormat (Mat 23 :1-36).


3. Sekte Esseni (arti kata Esseni : orang-orang saleh)
Orang-orang Esseni juga berasal dari orang Hasidim yang memisahkan diri lalu membarui semangat iman dengan cara melakukan askese secara tegas. Situasi bangsa Yahudi semasa wangsa Makabe-lah yang membuat orang-orang yang kelak dinamakan Esseni ini memisahkan diri, di mana telah terjadi pertentangan antara orang Hasidim dengan orang Makabe. Melihat situasi ini, orang-orang Esseni merasa kurang senang dengan minat duniawi yang diperlihatkan pemimpin bangsa mereka, termasuk tidak minatnya untuk duduk di kursi Sanhedrin. Untuk itu mereka menarik diri dari kehidupan bangsa sehari-hari dan membentuk komunitas monastik dan diam di dalam biara-biara dipadang gurun atau lembah. Qumran adalah salah satu tempatnya yang berada di tepi Laut Mati. Ciri khas hidup mereka adalah : selibat, meninggalkan harta milik maupun perdagangan, bertani, mempertahankan Sabat, ritual, dan novisiat. Yang unik dari kalangan mereka adalah tetap merahasiakan ajaran terhadap orang di luar Esseni. Aliran ini juga sangat menolak persembahan kurban binatang dan ibadat dalamkenisah-kenisah. Menurut penulis Yosefus Flavius, dipastikan kegiatan orang-orang Esseni pada waktu di antara tahun 150SM (jaman Makabe) dan tahun 70M (setelah perang Yahudi).

Ajaran-ajarannya :
Seperti dengan orang Farisi, orang Esseni memusatkan perhatian pada Hukum. Mereka percaya pada nasib namun tidak kepada aksi politik karena mereka berpikir bahwa Allah akan ikut campur tangan untuk meniadakan kegelapan.

Orang Esseni tidak disebutkan dalam Kitab Suci dan sulit diperkirakan apakah Yesus pernah berhubungan dengan orang-orang ini mengingat orang-orang Esseni lebih suka memencilkan dirinya dari kehidupan ramai. Karena sikap seperti inilah para penulis Injil tidak mengetahui apakah Yesus pernah saling bertemu atau tidak.

4. Sekte Zelot
Orang-orang Zelot termasuk kaum militan dan cenderung suka melakukan perlawanan bersenjata. Tidak diketahui asal-usulnya tetapi kemungkinan besar adalah generasi penerus kaum Makabe. Mereka adalah ahli waris tradisi tua sejak Pinehas, seorang imam yang disebutkan dalam Bilangan 25:7 hingga Makabe yang telah membela kehormatan Israel dan kemerdekaan bangsa. Kemudian mereka berorganisasi dan memainkan peranan yang menentukan dalam melawan orang-orang Romawi termasuk perang Yahudi tahun 66. Pemberontak-pemberontak adalah misi mereka demi menegakkan kerajaan Allah dari cengkraman Romawi. Mereka berpendapat bahwa kekuasaan Romawi hanya dapat dilawan dengan kekuatan bersenjata. Perang Yahudi pada tahun 66 boleh jadi karena usaha mereka mempertahankan Bait Allah dari penjarahan prokurator Florus. Meskipun tokh pada akhirnya mereka terpaksa dipukul mundur dari Bait Allah hingga terjadi penghancuran besar-besaran atas Bait Allah.

Orang Zelot sama fanatiknya dengan orang Esseni dan punya kemampuan bidang politik seperti orang Saduki terutama politik perang. Di lembaga Sanhedrin, orang Zelot tidak memiliki kursi. Diantara mereka terdapat juga orang-orang Esseni yang telah tiba pada suatu kesimpulan bahwa senjata lebih efektif daripada doa. Dalam Kitab Suci, nampaknya Yesus pernah bergaul dengan orang Zelot setidaknya 2 muridNya berasal dari sana yaitu Simon Zelot dan Yudas Iskariot. Kemungkinan besar sosok Barabas yang menjadi tawanan Romawi karena ulah pemberontakannya dan dibebaskan oleh Pilatus karena jasa Yesus adalah seorang Zelot juga. Mengenai sikap orang Zelot yang terlalu ekstrim dan mengandalkan kekuatan bersenjata ini ditanggapi oleh Yesus dengan sikapnya yang lemah lembut dan damai ketika memasuki kota Yerusalem dengan mengendarai seekor keledai dan bukan kuda perang berikut senjatanya seperti harapan mereka.

Ajaran-ajarannya:
Manusia hanya dapat menikmati kebahagiaan di dalam suatu kerajaan yang dibangun oleh bangsa Yahudi. Kerajaan Romawi yang menjajah Yahudi adalah kerajaan duniawi yang jahat dan buruk yang telah rusak oleh dosa. Karenanya mereka harus memperjuangkan datangnya kerajaan Allah. Kekecewaan orang Zelot terhadap Yesus yang disebut Mesias itu adalah karena menganggap bahwa Mesias yang akan datang itu adalah seorang panglima perang dengan kebijaksanaan dan kekuatan militernya yang akan membangun kerajaan Allah di bumi ini. Untuk itulah demi mengobati kekecewaannya, Yudas Iskariot menjual Yesus dengan 30 keping perak kepada orang Kayafas.

Dahulu, Kristen adalah juga bagian dari sekte Yudaisme karena selain ajarannya banyak mengacu kepada Taurat juga perkembangan awalnya bermula dari tanah Israel. Namun berkat perkembangan dan penyebaran yang cukup signifikan pada masa misionaris St. Paulus dan juga St. Petrus ke Roma, kemudian St. Thomas ke India, akhirnya Kristen tidak saja berlaku untuk orang Yahudi melainkan non Yahudi. Maka Kristen akhirnya berhasil memisahkan diri dari jenis sekte Yudaisme dan berkembang dalam agama baru yaitu agama Kristen. Itulah sebabnya di beberapa bagian ajaran Kristen juga ada yang mirip dengan ajaran Yudaisme. Hanya saja pusat ajaran Kristen sesungguhnya adalah berada pada diri Yesus Kristus.

Thursday, August 16, 2007

BELA AGAMA ATAU IMAN??

ORANG INDONESIA LEBIH MEMBELA
AGAMA DARIPADA IMAN


Ungkapan ini menjadi keprihatinan bersama beberapa awam Katolik dalam diskusi terfokus yang diadakan Gerbang untuk melihat rencana pengkajian RUU Kerukunan Umat Beragama oleh Komisi VI DPR RI.

Tino, seorang aktivis FAMRED, mengatakan bahwa sejak lahir seorang anak justru dikenalkan pada agama lebih dahulu daripada iman itu sendiri. Akibatnya penghayatan iman dalam diri orang itu tidak ada. Maka tidak heran, jika orang Indonesia lebih membela agamanya daripada nilai iman yang dihayatinya sendiri. Pernyataan ini didukung oleh semua peserta diskusi yang melihat bahwa agama hanyalah sebuah institusi yang mengandung banyak symbol dan cara-cara dalam menghayati iman itu sendiri. Bahwa inti dari agama itu adalah iman.

Melihat penghayatan agama yang lebih daripada iman itu sendiri justru telah memungkinkan terjadinya banyak konflik yang bersumber ataupun memakai otoritas agama. Setidaknya inilah yang mendasari Order Baru menempatkan isu SARA di tempat terlarang. Termasuk di dalamnya ide pembentukan RUU Kerukunan Antar Agama yang telah diajukan sejak 1996 oleh Tarmizi Taher.

Setelah 4 tahun ide ini tidak ditanggapi oleh semua agama karena RUU ini dirasa telah menyempitkan makna kerukunan social, Komisi VI justru memunculkan kembali ide pengkajiannya setelah melihat kondisi sosial politik di Indonesia. Kerusuhan-kerusuhan yang memakai otoritas agama telah menjadi pendorong utama upaya pengkajian ini.

Namun, seperti yang telah diungkap di atas, upaya ini menjadi percuma jika tetap pemahaman iman tidak ada. “Bahkan dengan pemahaman ini, RUU Kerukunan Antar Umat Beragama justru bisa menjadi penghambat hak asasi manusia dalam beragama/beriman”, ungkap Bambang. Setidaknya hal ini terjadi di beberapa produk hukum lainnya. Ketika ada 3 bentuk hukum (positif, agama, dan adat), hukum positif inilah yang justru menjadi penentu dan penghambat hukum-hukum lain. Padahal dalam setiap komunitas, masyarakat memiliki hukumnya sendiri yang disebut hukum agama dan adat. Hendaknyalah hukum positif mengadopsi hukum-hukum tersebut agar persinggungan yang terjadi tidak keras dan tetap bertujuan membentuk masyarakat damai. Sedangkan yang terjadi justru hukum positif mengatasi kedua hukum ini. Seperti yang terjadi pada HPH (Hak Penggunaan Hutan), di mana tanah-tanah HPH secara adat diatur oleh hukum adat masyarakat setempat, namun hak masyarakat ini justru dilanggar oleh hukum positif yang dianggap lebih kuat karena produk Negara.

Jika melihat kasus di atas, maka RUU Kerukunan Antar Umat Beragama ini bisa mengakibatkan kasus yang mirip. Seperti yang sudah terjadi dengan SKB 3 mentri yang memerintahkan pembangunan rumah ibadah harus disetujui oleh masyarakat sekitar. Akibat dari peraturan ini justru makin memperlihatkan dan membedakan komunitas-komunitas antar agama. Sebagai contoh, jika RT 05 memiliki warga beragama Kristen lebih banyak daripada agama lainnya, maka gereja banyak didirikan di wilayah itu. Sementara diwilayah lain, yang terjadi sebaliknya. “Jika demikian, maka RUU Kerukunan Antar Umat Beragama tidaklah relevan mencegah atau mengatasi konflik yang mengatasnamakan agama”, jelas Eddy Juwono. Justru yang lebih relevan adalah hukum adapt atau hukum yang dibuat masyarakat bawah itu sendiri dalam mengatur kehidupan sosialnya. Secara politis akhirnya, RUU ini lebih digunakan oleh elit-elit politik untuk mengontrol masyarakat seperti yang selama ini terjadi.

Maka tentunya sekarang kita perlu bertanya lagi, perlukah RUU Kerukunan Umat Beragama jika kita sendiri sudah mampu mengimani kehidupan ke-Katolikan kita? Masih perlukah RUU Kerukunan Umat Beragama jika kita sudah mampu mengimani manusia lain, tanpa pandang bulu, sebagai penjelmaan Kristus sendiri? Tapi tentunya yang terpenting adalah, apakah kita sendiri sudah menghayati iman Kristiani itu sendiri, atau kita masih menanggap beragama tidak sama dengan beriman? (Ren)

Wednesday, August 01, 2007

TUHAN, IJINKAN AKU SELINGKUH

Intensitas pertemuan yang kelewat sering, kebanyakan sharing, cur-hat, chatting, hingga mencoba-coba adalah pemicu selingkuh. Selingkuh bisa muncul karena adanya ketidakpuasan yang disembunyikan, ketidakcocokkan yang dipaksakan, atau kepura-puraan yang sengaja dibentuk. Ini pola umum orang yang berselingkuh. Maka orang yang mau berselingkuh cenderung membuat gara-gara agar terkesan tidak ada yang cocok lagi atau kalaupun main kucing-kucingan pasti ada yang ngga beres, entah orangnya atau pikirannya.

Suatu ketika di kawasan perkantoran yang lumayan rame, di mana semua orang dari berbagai perusahaan punya kesempatan untuk saling bertemu entah di kantin, di lift, atau di mall terdekat. Nah, di sinilah aku mulai tergoda sama makhluk aneh yang namanya cewe. Mulai dari satu lift, pertemuan tanpa disengaja, mulai lirik melirik, hingga curi-curi pandang. Cuma satu ngga mau mulai dilakukan, memulai berkenalan, tukar menukar no HP, chatting, hingga janjian. Wouw! Bukan aku ngga berani, tapi ada pepatah yang bilang, orang main api akan terbakar, orang main air akan basah... lalu kalau aku mau selingkuh akan apa donk...?

Beruntunglah aku punya isteri yang tetap cantik dan setia. Masak dia yang tetap setia saja aku malah mengkhianatinya. Entah bagaimana orang lain yang tidak sebahagia aku yach...? Semoga imannya tetap kuat demi membangun kesetiaan.

Tuhan, ijinkan aku selingkuh...! Semoga bukan kata-kata seperti ini dalam doaku kelak. (Wise banget yach aku ini... seperti orang yang pinter omong tapi goblok dalam bertindak) Karena mungkin godaan itu belum datang dengan serius aja!