MENGGEREJA DI DALAM DUNIA KERJA
Mengulas diskusi
KPKP-Jakarta dengan Romo Sandyawan Sumardi, SJ
MAKNA “MENGGEREJA”
Jika mendengar kata ‘menggereja’ umumnya kita berpikir bahwa aktivitas ini tidak jauh dari seputar altar. Menurut buku katekismus modern Gereja Katolik, hidup menggereja adalah hidup dalam persekutuan dengan sesama orang beriman sehingga terdapat saling menolong, mendukung dan mengisi. Dalam hal ini Gereja adalah umat beriman kepada Allah melalui Yesus Kristus dalam bimbingan Roh Kudus yang didirikan supaya mewujudkan Kerajaan Allah di dunia.
Setiap orang bisa saja mengartikan kata menggereja itu berdasarkan sudut pandangannya masing-masing tetapi tentu tidak menghilangkan kata kuncinya yaitu mewujudkan “Kerajaan Allah di dunia” karena memang ini yang menjadi tujuan utamanya.
Sandyawan Sumardi, seorang klerus dari Jesuit yang juga aktivis kemanusiaan di Indonesia, dalam diskusinya dengan KPKP-Jakarta, mengutarakan makna lain dari kata menggereja ini. Beliau mengatakan bahwa menggereja itu berarti mengaktualisasikan kehadiran Kristus di dunia. Bahkan dilontarkan pula makna menggereja ini secara lebih luas yaitu membuka komunikasi iman seluas mungkin agar semua orang bisa menjadi partner kita untuk bekerja sama dalam memperjuangkan Kerajaan Allah di dunia seperti yang diwartakan oleh Kristus. Sangat luas karena memberikan ruang yang tidak dibatasi oleh iman yang sama.
AKTIVITAS MENGGEREJA PADA UMUMNYA
Kegiatan menggereja umumnya dilandasi oleh 3 hal yaitu pewartaan, pengudusan dan pelayanan. Dan dalam sejarah Gereja, termasuk Gereja di Indonesia, ketiga hal ini tidak pernah lepas dalam setiap tugas Gereja dan dilakukan secara bersamaan. Maka tidak mengherankan jika Gereja mempunyai ‘trade mark’ sebagai pioneer sampai saat ini dan itu cukup diakui oleh pihak diluar Gereja. Yang namanya pelayanan apapun jenisnya jika berada di bawah pengawasan Gereja mendapat penilaian lebih di kalangan masyarakat.
Namun demikian, dalam situasi tertentu nampaknya kita cukup terlena dengan trade mark ini sehingga tugas menggereja, misalnya saja dalam hal pelayanan kemanusiaan, sayangnya tidak lagi mampu menyentuh essensial tugas kemanusiannya, di mana seharusnya manusia, dalam kesatuan dan keutuhan jiwa dan raganya, dengan hati serta nuraninya, dengan budi dan kehendaknya adalah poros segala kegiatan Gereja. Umumnya yang banyak terjadi saat ini adalah bahwa aktivitas pelayanan kemanusiaan muncul hanya karena sebatas legalitas saja. Banyak umat Kristen yang [sebenarnya] tahu mengenai kewajiban untuk saling menolong dengan saling menanggung beban, namun hanya menunggu sampai ada yang memulai atau ada perintah dari atas (hierarkhi). Padahal seharusnya tidaklah demikian. Terkadang unsur legalitas menjadi penghambat tindakan kemanusiaan yang semestinya menjadi bagian dari tugas Gereja.
MENGGEREJA DI DALAM DUNIA KERJA
Bagi kita, umat Katolik Indonesia yang minoritas, menggandengkan kata ‘menggereja’ dan ‘dunia kerja’ memiliki keunikannya sendiri. Mengapa demikian?
Jika menoleh kembali pada definisi menggereja seperti yang ditulis dalam katekismus modern Gereja Katolik, maka makna itu akan hilang dengan sendirinya karena persekutuan yang terjadi dalam dunia kerja kita adalah persekutuan serba majemuk/pluralis bahkan mungkin saja kita ini menjadi seorang diri di tengah mayoritas. Lalu apa maknanya menggereja di dalam dunia kerja?
Harus diakui bahwa aktivitas dunia kerja kita ini sangat menyita waktu dan tenaga sehingga kita tidak mampu lagi menyempatkan diri untuk berkumpul dengan sesama umat beriman melakukan aktivitas gereja. Namun demikian, sebagai anggota Gereja, kita mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas pokok Gereja itu di tengah masyarakat dan kelompok masyarakat mana lagi yang sering kita jumpai kalau bukan masyarakat dunia kerja atau kantor. Di kelompok masyarakat inilah kita siap membajak dan di sinilah sarana alternatif itu bagi kita Bagaimana melakukan aktivitas ini?
Pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu bahwa Gereja adalah tubuh Kristus. Kehadiran Gereja berarti mewartakan kehidupan Kristus. Itu berarti pula bahwa kehadiran kita [yang adalah anggota Gereja] harus mampu mewartakan kehidupan Kristus dengan benar di tengah masyarakat melalui aktualisasi sikap hidup Kristus dalam diri kita. Maka misi pewartaan itu sudah melekat dalam diri kita.
Menggereja di dalam dunia kerja bukan semata-mata melakukan aktivitas iman di tengah masyarakat kantor dengan motivasi agar mereka mengikuti kita melainkan melakukan karya atau tindakan atau sikap hidup yang benar yang sama seperti sikap hidup Kristus di antara mereka. Yang mungkin dilakukan adalah berkarya dengan etika kerja yang baik misalnya saja ‘tidak korupsi’, tidak mangkir, tekun bekerja, semangat kerja yang tinggi dsb. Dengan melakukan sikap kerja yang baik itu secara tidak langsung kita sudah membuka komunikasi iman.
Maka bukan tidak mungkin jika menggereja di dalam dunia kerja terlaksana justru dari perilaku kerja kita yang baik yang bisa diteladani sehingga lewat komunikasi iman ini semua orang bisa menjadi partner kita untuk bekerja sama dalam memperjuangkan Kerajaan Allah di dunia tanpa harus menjadi Katolik.
Semangat menggereja seperti ini yang sangat dikagumi oleh Gereja karena berani menyatakan imannya seorang diri dalam komunitas yang plural atau malah dalam komunitas yang mayoritas.
GEREJA WARTEG atau GEREJA SUPERMARKET
Mengkritisi keadaan gereja saat ini yang berkesan ‘sangat’ mewah bahkan ada kebanggaan tersendiri karena memiliki gereja yang mewah sehingga ini menjadi semacam batu sandungan bagi masyarakat.
Romo Sandyawan SJ membuat ilustrasi yang cukup menggelikan yaitu bahwa gereja yang baik itu sebenarnya harus seperti sebuah warteg. Gereja seperti warteg mempunyai makna bahwa kehadiran gereja harus bersifat hangat, saling menyapa, dan memiliki empati terhadap segala kesulitan. Seperti kita ketahui bahwa di warteg siapa saja bisa datang meski hanya bersandal jepit atau berbau keringat. Semua orang bisa datang tanpa melihat status dan golongan. Apalagi jika kita saling mengenal, perasaan empati bisa muncul andaikan ada permasalahan yang dibicarakan mendapatkan solusi berdasarkan pada pengalaman satu dengan yang lain tanpa disuguhi nasehat-nasehat standar etika moral yang sudah pasti tidak mereka pelajari. Solusi berdasarkan pengalaman memberikan nilai tersendiri dalam komunitas warteg.
Lain halnya jika gereja itu mirip supermarket di mana untuk memasuki supermarket saja harus mengenakan pakaian yang bagus, tidak bersandal jepit, apalagi berbau keringat. Memiliki uang yang banyak mungkin saja dibutuhkan karena yang dijualpun harganya tidaklah murah. Fasilitas yang baik biasanya dibarengi dengan biaya yang tinggi yang secara tidak langsung dibebankan oleh pengunjung supermarket itu. Tidak ada sapaan di sana apalagi cerita. Orang bisa datang dan pergi setelah semua kebutuhan terpenuhi tanpa peduli dengan orang lain. Tidak ada kehangatan di supermarket, yang ada sikap apatis. Kalau ada permasalahan di supermarket maka solusi yang ada adalah tindakan atau nasehat yang sudah memiliki standar etika moral tanpa disuguhi pengalaman. Semua berjalan dengan penuh prosedural. Akankah situasi gereja kita ini seperti supermarket?
Ilustrasi di atas bisa memberi gambaran untuk sebuah gereja dalam arti bangunan maupun komunitas. Lewat ilustrasi itu juga, kita bisa menjadikan diri kita sebagai Gereja yang mirip warteg dalam arti kehadiran kita seharusnya tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain, punya kehangatan, memiliki sikap empati yang baik, dan tidak menutup diri terhadap orang lain hanya karena perbedaan status atau golongan. Pada akhirnya, semangat menggereja harus diawali dari diri kita sendiri dengan menjadikan diri kita sebagai Gereja yang menjadi saluran berkat dengan meneladani sikap hidup Kristus di tengah komunitas kita yaitu dunia kerja perkantoran sehingga tujuan akhir mewujudkan Kerajaan Allah di dunia bukan cuma mimpi belaka.