Tuesday, December 28, 2010

BELA RASA, JATI DIRI MANUSIA SEJATI - Renungan Natal Uskup Ign Suharyo

KOMPAS.com - Akhir-akhir ini sering dapat dibaca, dilihat, dan didengar di media massa ulasan mengenai watak atau karakter bangsa. Tidak sedikit pula seminar yang diadakan mengenai topik itu.

Dalam salah satu seminar yang diadakan di Semarang dikatakan dengan lugas bahwa kondisi (sebagian) bangsa kita cenderung mengarah pada karakter Kurawa (Kompas, 28 November 2010), yang dalam pengertian umum berarti jelek, jahat, licik, serakah, arogan, culas, tidak punya hati—semuanya demi kekuasaan, kemenangan, dan keuntungan.

Dalam kisah kelahiran Yesus dapat juga dijumpai pribadi-pribadi yang berwatak serupa. Yang paling menonjol adalah Herodes Agung. Ia adalah orang yang begitu gila hormat dan kuasa, sampai-sampai ia memusnahkan silsilahnya untuk menghapuskan jejak jati dirinya yang sesungguhnya.

Setiap orang yang dianggap mengancam kepentingannya disingkirkan, termasuk istri dan anaknya. Inilah yang menjadi latar belakang kisah pembunuhan anak-anak yang diceritakan dalam Mat 2:16-18. Masih bisa disebut nama lain, yaitu Arkhelaus (Mat 2:22), anak Herodes Agung.

Watak serakahnya ada di belakang kisah perumpamaan mengenai uang mina (Luk 19:11-27). Ia dinobatkan menjadi raja oleh Pemerintah Romawi, tentu dengan suap yang hebat karena rakyatnya sendiri sebenarnya membenci dia. Oleh karena itu, ketika berhasil menjadi raja, ia memeras rakyat, tentu dengan maksud untuk memperoleh kembali uang yang ia gunakan untuk menyuap.

Jati diri batin
Yesus yang lahir dapat dipandang sebagai kontras terhadap pribadi-pribadi seperti itu. Ia lahir di palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Luk 2:7). Kendati tempat kelahirannya menurut pendapat umum tidak terhormat, pribadinya tetaplah mulia. Bukan tempat lahir yang menentukan jati diri atau kehormatan seseorang, melainkan diri batinnya.

Ia lahir dari garis yang sering disebut sisa Israel yang menghayati spiritualitas orang-orang miskin Allah. Mereka adalah orang-orang yang hidup berdasarkan janji, setia pada cita-cita awal yang mulia untuk menjadi umat yang hidup menurut jalan-jalan Tuhan.

Dalam bahasa sehari-hari, mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah kehilangan idealisme awal dan tidak pernah mau menggantinya dengan sekadar kekuasaan, gengsi, atau apa pun yang lain. Mereka bukan orang-orang oportunis atau sekadar puas dengan citra lahiriah.

Orang-orang miskin Allah ini adalah orang-orang yang sungguh beriman, bukan sekadar taat beragama. Mereka tidak seperti kaum Zelot yang dengan alasan mencintai hukum Allah, dengan tangan dingin membunuh orang-orang yang mereka anggap mengkhianati Allah.

Mereka juga tidak sama dengan orang-orang Farisi yang dengan dalih agama menindas dan menganiaya yang mereka anggap orang-orang pendosa. Mereka juga bukan seperti orang-orang Esseni yang membenci sesama warga bangsa dengan dalih agama.
Kelompok-kelompok yang disebut terakhir ini adalah orang-orang yang merasa bahwa Allah di pihak mereka, tetapi nyatanya mereka tidak mampu mengambil bagian dalam bela rasa Allah kepada manusia, padahal bela rasa sifat Allah yang utama (Luk 6:36; 2 Kor 1:3).

Dalam arus spiritualitas orang-orang miskin Allah inilah Yesus lahir, bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada padanya (Luk 2:40). Selanjutnya pada waktunya Yesus akan mengatakan, ”Hendaklah kamu murah hati (berbela rasa, compassionate) seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6:36).

Bela rasa inilah yang ditunjukkan Yesus sejak lahir sampai akhir hidupnya sebagaimana dapat dibaca dalam Injil. Berkali-kali dikatakan bahwa Yesus tergerak oleh bela rasa (Mt 14:14; Mrk 6:34; Luk 7:13). Bela rasa adalah jati diri batinnya.

Tergerak oleh bela rasa menunjuk pada inti pribadi, diri batin, pusat hidup manusia yang paling dalam atau dalam satu kata: hati. Dari hati itulah semua yang baik, menyejahterakan, yang menyelamatkan berasal, tumbuh, dan berkembang.

Di tengah-tengah masyarakat yang dikuasai oleh herodes-herodes yang berwatak Kurawa itulah Yesus lahir, bertumbuh dan berkembang. Dia menjadi terang besar yang datang ke tengah-tengah dunia yang gelap (bdk Yoh 1:9).

Selain Yesus yang dengan bela rasanya menjadi Sang Terang, ada terang-terang kecil lain yang juga bersinar. Mereka adalah orang-orang majus dari Timur yang langkah-langkahnya dipimpin oleh bintang (Mat 2:1-12).

Ada pula para gembala sederhana yang jalan-jalannya dituntun oleh malaikat (Luk 2:8-20). Mereka ini adalah kontras-kontras kecil, pribadi-pribadi yang jati dirinya tidak ditentukan oleh kekuasaan, kemenangan, dan keuntungan. Mereka ini adalah terang-terang kecil yang memancarkan Yesus Sang Terang yang sesungguhnya.

Terang-terang kecil seperti ini pun ada banyak tersebar di seluruh negeri kita tercinta: terang kecil itu tampak dalam diri sekian banyak relawan-relawati yang tanpa pamrih membantu saudari-saudara yang terdampak oleh bencana; dalam diri pribadi-pribadi yang berusaha membebaskan saudari-saudara mereka dari isapan lintah darat; dalam diri orang-orang yang dengan tekun mengusahakan pendidikan bagi masyarakat miskin atau terpencil; dan sekian banyak orang yang melakukan usaha mulia yang lain.

Mereka ini bekerja keras dan diam-diam dalam hati berkata, ”Aku bukanlah kekuasaan, kemenangan, atau keuntungan yang dapat kuperoleh; aku adalah hatiku yang kubagikan dalam bela rasa.”

Selamat Natal 2010.
I Suharyo
Uskup Keuskupan Agung Jakarta

Saturday, October 16, 2010

MARI BERBANDING

Mari kita mulai berbanding :

Hari Jumat tanggal 04 Juni 2010, Presiden Amerika Serikat Barack Obama membatalkan kunjungannya ke Indonesia yang dijadwalkan tanggal 14-17 Juni 2010 karena harus mengurusi bocornya minyak BP di Teluk Meksiko yang membahayakan lingkungan hidup khususnya yang berada di Teluk Meksiko.

Tanggal 14 Oktober 2010, Presiden Chile, Sebastian Pinera, membatalkan kenjungannya ke Eropa demi memastikan keselamatan 33 penambangnya yang terjebak di kedalaman tanah 700m.

Tanggal 04 Oktober 2010, bencana banjir bandang di Wasior terjadi. Tak ada presiden yang hadir memonitor perjuangan mereka melawan maut. Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, malah asyik menonton sepakbola Indonesia - Uruguay di Senayan tanggal 08 Oktober 2010. Dua minggu kemudian baru ada kunjungan, itupun setelah beberapa hari menlu AS, Hillary Clinton mengirimkan ucapan simpati atas musibah Wasior. Pak Presiden, kenapa telaaaat!!!

NINGRUMKU SAYANG - CINTA YANG TERSISIH

Perjalanan cintaku bersama Ningrum hampir menemui titik akhir. Ketika semua orang tak mampu memberi jawaban yang pasti di mana dia berada, itu artinya titik akhir sudah berada di ambang tuntas. Selamat tinggal atau selamat jalan untukmu Ningrum!

Kembali ke Jakarta dengan sejuta perasaan gundah, kecewa, dan frustasi. Memang tidak masuk di akal hanya karena cinta dunia serasa mati. Di sinilah logika dan perasaan saling berperang, siapa kalah akan menentukan hasil sebuah perjalanan hidup. Ketika perasaan tergundah airmata seperti meluap ingin muntah dari pelupuk mata, tetapi ketika logika tergundah bisa menjadi gila.

Aku melamun dalam perjalanan kereta malam Semarang - Jakarta setelah air mata terkuras habis di tanah Temanggung, di bukit Menoreh. Tak terasa apakah ini mimpi atau kenyataan, bau kota Jakarta yang busuk tercium di sela-sela kaca kereta yang pecah. Jumpa lagi Jakarta setelah sekian lama ku tinggalkan baumu tetap tak berubah.

Bagiku, kini Ningrum adalah masa lalu. Aku tidak sempat menenun benang-benang cinta bersamanya. Semestinya benang-benang itu menjadi sebuah kain yang bagus dan kelak akan akan terlukis sebuah perjalanan cinta maha dahsyat. Namun apa lacur, sebuah kini tinggal kenangan.

Tuesday, July 27, 2010

NINGRUM, CINTAILAH AKU!

Ini adalah perjalananku ke tiga ke Bukit Menoreh. Jalan berbukit menanjak dan menurun melewati kebun-kebun tembakau terasa menyulitkan. Beruntung jalan-jalan antar desa kini sudah beraspal seandainya tidak, maka entahlah apa aku sanggup mengejar Ningrum hingga dibalik bukit itu?

Aku kenal Ningrum 5 tahun yang lalu. Perempuan desa yang aku kenal di sudut kota Jakarta. Dia mencoba bertaruh nasib di kota besar ini dengan bekerja menjadi
pelayan kantor. Wajahnya cantik, oh tidak! Menurutku dia ayu. Kulitnya putih, rambut ikal dan tinggi 165 cm. Dia pantas disejajarkan dengan Dian Sastro selebritis kondang itu, tapi rupanya nasib tidak berpihak padanya.

Sejak lima tahun lalu aku sebenarnya suka padanya. Pekerjaan pelayan kantor tidak cocok dengannya. Rasanya pas kalo dia itu jadi sekretarisku aja. Kemampuan berpikir di atas rata-rata ini menunjukkan bahwa dia pintar sejak di sekolahnya. Hingga suatu ketika dia pulang ke kampungnya dan tidak kembali lagi.

Saat itu aku sudah cinta mati padanya. Maka kucoba untuk mencurahkan isi hatiku sepenuhnya pada makan malam di cafe Semanggi.
"Aku cinta padamu, Ningrum!" hanya itu kata-kata yang kuingat. Setelah pertemuan itu, dia menghilang tidak bekerja lagi hingga saat ini.

Sekarang aku di bukit Menoreh mencari Ningrum yang menghilang tanpa kabar berita. Dan ini adalah perjalananku ke-3 mencari dia, Ningrum gadis bukit Menoreh yang ayu untuk kucintai.

Monday, April 26, 2010

Kartini dalam busana 3 jaman


Tanggal 21 April, orang Indonesia tidak akan lupa dengan hari yang satu ini. Indonesia menyebutkannya sebagai hari Kartini. Di semua tempat di Indonesia, kalau orang sudah bicara hari Kartini, maka topik yang tidak lepas selain dari masalah emansipasi adalah kebaya.

Mau tahu bagaimana pergeseran bentuk cara berpakaian kebaya dari jaman ke jaman. Yuk, sekarang kita mau lihat bagaimana wanita jaman sekarang memakai kebaya.


Berikut adalah urutannya :

Wanita paruh baya
Wanita setengah baya







Ada sedikit pergeseran bentuk kebaya untuk wanita paruh baya hingga setengah baya di jaman milenium. Tapi coba kita lihat wanita di bawah ini. Mereka diambil gambarkan ketika berkebaya. Anehnya... apakah mereka ini benar-benar berkebaya tanpa hiasan sanggul?

Sangat berbeda dengan cara berpakaian kebaya jaman dulu. Pergeseran bentuk dan cara berpakaian kebaya terjadi karena perkembangan jaman.

Anda tinggal memilih wanita mana yang lebih anggun dalam berpakaian kebaya. Tapi ingat bahwa pilihan adalah selera orang hidup yang hidup di setiap jamannya.

Bravo wanita Indonesia yang sudah membuat pergeseran mode biar semua laki-laki tetap punya selera yang hidup untuk memilih Anda semua.

Monday, March 01, 2010

CURHAT 30 HARI - sebuah catatan hidup

Tiga puluh hari sudah aku lewati masa itu dengan urusan chatting. Ini bukan hal yang luar biasa karena aku pernah melakukan hal yang sama. Yang menjadi kegilaan selama masa itu adalah bahwa aku jalani itu sepanjang hari dan ini sangat jarang kulakukan. ‘Crazy chat’ atau apalah istilah untuk kegilaan chat mungkin pilihan kata yang tepat.

Adalah Endah, teman chat, kucoba hubungi karena sudah tahunan tidak kujumpai. Status id-nya yang offline tak mengurungkan niat sedikitpun untuk mengkontaknya tokh kapanpun message-ku ini dikirim tetap akan sampai kepadanya meski untuk beberapa waktu kemudian. “Hallo… apa kabar?”. Tiga kata basa-basi mengawali perjumpaan ini.

Esoknya kubuka kembali messager-ku dan kudapati sebuah pesan baru.
“Kabar baik, Mas! Gimana di sana…? Sehat semuakah?” Hm.. rupanya ini adalah jawaban atas message-ku kemarin.

Aku tidak segera menjawab karena kupikir ini juga sekedar basa-basi. Tiba-tiba beberapa menit kemudian Endah mengirimkan sebuah message baru padahal aku tidak melihat id-nya aktif. Hm… pintar juga dia memasang status invisible agar tidak terbaca semua orang. Sama seperti yang sering kulakukan terhadap yang lain.

Terjadilah komunikasi yang intens selama 30 hari itu. Dari sekedar basa-basi akhirnya muncul rasa simpati. Dari awalnya cuma ‘say hello’ kini menjadi begitu care. Tiga puluh hari bisa mengubah segalanya. Komunikasi inipun bagai curhat di dunia maya. Yang satu mencoba berbagi yang lainnya hanya bisa menanggapi.

Aku benar-benar baru tahu saat ini. Seorang Endah berani menantang Jakarta tanpa ada orang yang bisa dijadikan penjamin hidupnya. Wanita yang terlihat lemah ini hanya mengandalkan kemampuan mandirinya untuk hidup di tengah kota ini. Tidaklah mengherankan jika perjalanan hidupnya di Jakarta bagai bandul jam yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Kadang dijalaninya dengan biasa saja, kadang harus disertai dengan isak air mata. Ke mana dia harus mengadukan nasibnya? Hidup terlunta-lunta tanpa teman bukan pilihan yang harus diterimanya tetapi keadaan menuntunnya ke arah itu. Banyak cerita-cerita baru tentang dirinya. Bagaimana dia harus berpindah pekerjaan karena kondisi sulit perusahaannya? Bagaimana dia mengalami cobaan ketika kost-nya terbakar dan hanya sepasang baju yang dia pakai untuk bertahan semalam? Bagaimana dia harus tinggal di rumah sakit saat malam Natal 2009 karena sakit maag yang terbilang cukup serius? Bagaimana sikap diskriminasi di kantornya yang baru menyebabkan dia hampir saja ‘give up’? Bagaimana dia harus bertahan hidup –seandainya- dia benar-benar jobless? Belum lagi perlakuan diskriminasi etnis yang harus dia terima dari masyarakat kota yang boleh dibilang berpendidikan.

Rasa empatiku tiba-tiba muncul untuk menanggapi keluhan atas kodrat dirinya yang terlahir dari etnis China dan perlakuan masyarakat yang diterimanya. Sungguh diluar dugaanku. Melalui huruf-huruf di keyboard yang kurangkai menjadi beberapa kalimat kujadikan sebuah penguat buat dirinya meskipun aku sendiri tidak merasa yakin apakah ini bisa menghiburnya karena aku bukan seorang dari etnis yang sama.

Suatu ketika dia bercerita bagaimana dirinya diperlakukan tidak wajar di kantornya. Sejak dia bergabung dengan perusahaan yang baru ini muncul ketidakwajaran yang harus dia terima mulai dari kehadirannya yang tidak ditanggapi hingga benar-benar memang dianggap tidak ada, artinya ada atau tidak ada dia di kantor, pekerjaan tidak sedang menantinya.

Aneh sekali! Lalu kenapa kamu direkrut di tempat itu?” tanyaku dalam sebuah chat room.

Pertanyaan itu muncul sebagai akibat diskriminasi yang dialaminya karena dia seorang etnis China dan beragama Katolik pula. Minoritas ganda ini menjadi batu sandungan di lingkungan kerjanya. Situasinya benar-benar tidak nyaman sekali, ceritanya berulang-ulang. Siapa sih yang bisa memilih untuk terlahir sebagai seorang China atau tidak? Pertanyaan inipun tidak mampu dijawab oleh orang-orang yang merasa dirinya sebagai anggota komunitas dominant di Indonesia.

Perlakuan yang diterima selama berbulan-bulan itu mencapai titik puncaknya dimana akhirnya dia jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit di malam Natal 2009. Rupanya kondisi fisik dan tekanan batin yang dihantamkan ke arahnya menyebabkan metabolisme tubuh terganggu oleh karena banyak pikiran dan rusaknya pola makan.

Aku jadi ingat pada tanggal 23 Desember 2009 di sebuah status facebook terbaca suatu berita mengejutkan. ‘..Endah masuk rumah sakit!” Status facebook seseorang yang menjadi sumber berita itu harus kucari kebenarannya. Dan terkonfirmasi bahwa dia harus menikmati malam Natalnya di rumah sakit.

"..malam kudus, sunyi senyap..."
Lagu Malam Kudus itu berkumandang namun sayangnya harus dia dengarkan di bangsal rumah sakit. Benar-benar sunyi senyap di sini, katanya. Dia tidak pernah membayangkan itu sebelumnya. Aku tahu ada perasaan sedih ketika dia harus mengalami situasi seperti ini. Dan semua tercurah sama persis dalam curhatnya di chat room. Endah, malang nian nasibmu.

Aku seperti tak pernah kehabisan kata-kata. Huruf-huruf dalam keyboard itu meluncur membantuku menyusun kalimat-kalimat yang menguatkan dirinya bagai sebatang bambu. Saat-saat seperti ini ibarat sebuah pohon yang rapuh dahannya perlu ditopang. Sebatang bambu hanyalah sebuah pilihan sampai pada masanya dahan cukup kuat untuk siap menjalani kehidupan selanjutnya. Apa yang aku lakukan hanya sekedar sebatang bambu.

Menuliskan banyak hal tentang hidup mengajarkan orang untuk mengerti hakekat hidup itu seperti apa. Kita kadang melihat suatu permasalahan yang kecil dari keseluruhan perjalanan hidup seperti gelombang tsunami yang mematikan padahal mungkin saja itu hanya riak-riak kecil yang bertujuan mengolah diri kita untuk bersiap pada permasalahan yang besar.

Perlakuan diskriminasi etnis dan agama memang masih muncul di negeri ini bagai sengatan listrik arus rendah yang tidak mematikan tapi cukup menjengkelkan. Bagaimana kita harus menanggapi perlakuan seperti itu? Menolak takdir bukanlah jawaban. Menantangpun tidak memberikan solusi apa-apa. Maka yang terpenting adalah melakukan sesuatu dengan benar. Resiko dari korban tindakan diskriminasi adalah selalu salah. Melakukan tindakan yang benar saja dicari celah salahnya apalagi melakukan tindakan yang tidak benar, selesai sudah.

Dan ini terjadi seperti yang dialami oleh Endah, temanku yang ditakdirkan sebagai kaum minoritas ganda. Wanita berdarah oriental dan berparas ayu ini memiliki segudang pengalaman pahit yang akan dia bawa sepanjang perjalanan hidupnya. Dan dalam curhat selama 30 hari itu ada sesuatu yang bisa direfleksikan dalam hidup.

Curhat tiga puluh hari melegakan kelu lidahnya
Curhat tiga puluh hari membawa dirinya untuk segera bangkit
Curhat tiga puluh hari meringankan langkah kakinya untuk segera beranjak pergi dengan semangat baru.
Curhat tiga puluh hari akhirnya melibatkan aku untuk membantunya meringankan kuk-kuk yang berat dipundaknya itu untuk kuserahkan kepada Tuhan dalam doa.

“Bapa, perjalanan 30 hari bersamanya belum seberapa berat ketimbang beban salib yang harus dibawa oleh PuteraMu, Yesus ke bukit Golgota. Rasanya ini malah menambah beban salibNya saja. Ajarilah kami mengucap syukur -walau hanya sedikit- untuk kuk-kuk yang kami bawa sepanjang hidup kami. Angkatlah kuk ini dan satukanlah dengan salib PuteraMu bila kami sudah tidak kuat lagi menanggungnya. Ini lantaran kami percaya berkat pengorbanan Puteramu di kayu salib”.

Selamat menjalani retret agung pra paskah 2010

Monday, February 08, 2010

KISAH MENGHARUKAN - AKU MERINDUKANMU

Kisah teramat sedih ini dituliskan berdasarkan pengalaman pribadi seorang Suami yang ditinggal mati istrinya. Cukup menyentuh dan sekaligus juga menjadi pelajaran berharga para single parent. Demikian kisahnya :

Empat tahun yang lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang kukasihi, sering aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istriku sekarang di alam surgawi, baik-baik sajakah? Dia pasti sangat sedih karena sudah meninggalkan seorang suami yang tidak mampu mengurus rumah dan seorang anak yang masih begitu kecil. Begitulah yang kurasakan, karena selama ini aku merasa bahwa aku telah gagal, tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anakku, dan gagal untuk menjadi ayah dan ibu untuk anakku.

Pada suatu hari, ada urusan penting di tempat kerja, aku harus segera berangkat ke kantor, anakku masih tertidur. Ohhh... aku harus menyediakan makan untuknya.

Karena masih ada sisa nasi, jadi aku menggoreng telur untuk dia makan. Setelah memberitahu anakku yang masih mengantuk, kemudian aku bergegas berangkat ke tempat kerja.

Peran ganda yang kujalani, membuat energiku benar-benar terkuras. Suatu hari ketika aku pulang kerja aku merasa sangat lelah, setelah bekerja sepanjang hari. Hanya sekilas aku memeluk dan mencium anakku, aku langsung masuk ke kamar tidur, dan melewatkan makan malam. Namun, ketika aku merebahkan badan ke tempat tidur dengan maksud untuk tidur sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Aku membuka selimut dan..... di sanalah sumber 'masalah'nya ... sebuah mangkuk yang pecah dengan mie instan yang berantakan di seprai dan selimut!

Oh...Tuhan! Aku begitu marah, aku mengambil gantungan pakaian, dan langsung menghujani anakku yang sedang gembira bermain dengan mainannya, dengan pukulan-pukulan! Dia hanya menangis, sedikitpun tidak meminta belas kasihan, dia hanya memberi penjelasan singkat:

"Dad, tadi aku merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tapi ayah belum pulang, jadi aku ingin memasak mie instan. Aku ingat, ayah pernah mengatakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada orang dewasa di sekitar, maka aku menyalakan mesin air minum ini dan menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk ayah dan yang satu lagi untukku... Karena aku takut mie'nya akan menjadi dingin, jadi aku menyimpannya di bawah selimut supaya tetap hangat sampai ayah pulang. Tapi aku lupa untuk mengingatkan ayah karena aku sedang bermain dengan mainanku ... Aku minta maaf Dad ... "

Seketika, air mata mulai mengalir di pipiku ... tetapi, aku tidak ingin anakku melihat ayahnya menangis maka aku berlari ke kamar mandi dan menangis dengan menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara tangisku. Setelah beberapa lama, aku hampiri anakku, memeluknya dengan erat dan memberikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan dipantatnya, lalu aku membujuknya untuk tidur. Kemudian aku membersihkan kotoran tumpahan mie di tempat tidur.

Ketika semuanya sudah selesai dan lewat tengah malam, aku melewati kamar anakku, dan melihat anakku masih menangis, bukan karena rasa sakit di pantatnya, tapi karena dia sedang melihat foto mommy yang dikasihinya.

Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, aku mencoba, dalam periode ini, untuk memusatkan perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah dan juga kasih sayang seorang ibu, serta memperhatikan semua kebutuhannya. Tanpa terasa, anakku sudah berumur tujuh tahun, dan akan lulus dari Taman Kanak-kanak. Untungnya, insiden yang terjadi tidak meninggalkan kenangan buruk di masa kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa dengan bahagia.

Namun... belum lama, aku sudah memukul anakku lagi, aku benar-benar menyesal....

Guru Taman Kanak-kanaknya memanggilku dan memberitahukan bahwa anakku absen dari sekolah. Aku pulang kerumah lebih awal dari kantor, aku berharap dia bisa menjelaskan. Tapi ia tidak ada dirumah, aku pergi mencari di sekitar rumah kami, memangil-manggil namanya dan akhirnya menemukan dirinya di sebuah toko alat tulis, sedang bermain komputer game dengan gembira. Aku marah, membawanya pulang dan menghujaninya dengan pukulan-pukulan. Dia diam saja lalu mengatakan, "Aku minta maaf, Dad".

Selang beberapa lama aku selidiki, ternyata ia absen dari acara "pertunjukan bakat" yang diadakan oleh sekolah, karena yg diundang adalah siswa dengan ibunya. Dan itulah alasan ketidakhadirannya karena ia tidak punya ibu.....

Beberapa hari setelah penghukuman dengan pukulan rotan, anakku pulang ke rumah memberitahu aku, bahwa disekolahnya mulai diajarkan cara membaca dan menulis. Sejak saat itu, anakku lebih banyak mengurung diri di kamarnya untuk berlatih menulis, yang kuyakin, jika istri saya masih ada dan melihatnya ia akan merasa bangga, tentu saja dia membuat aku bangga juga!

Waktu berlalu dengan begitu cepat, satu tahun telah lewat. Saat ini musim dingin, dan hari Natal telah tiba. Semangat Natal ada dimana-mana juga di hati setiap orang yg lalu lalang... Lagu-lagu Natal terdengar diseluruh pelosok jalan .... tapi astaga, anakku membuat masalah lagi. Ketika aku sedang menyelasaikan pekerjaan di hari-hari terakhir kerja, tiba-tiba kantor pos menelpon. Karena pengiriman surat sedang mengalami puncaknya, tukang pos juga sedang sibuk-sibuknya, suasana hati mereka pun jadi kurang bagus.

Mereka menelponaku dengan marah-marah, untuk memberitahu bahwa anakku telah mengirim beberapa surat tanpa alamat. Walaupun aku sudah berjanji untuk tidak pernah memukul anak saya lagi, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya lagi, karena aku merasa bahwa anak ini sudah benar-benar keterlaluan. Tapi sekali lagi, seperti sebelumnya, dia meminta maaf : "Maaf, Dad". Tidak ada tambahan satu kata pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu.

Setelah itu aku pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat tanpa alamat tersebut lalu pulang. Sesampai di rumah, dengan marah aku mendorong anakku ke sudut mempertanyakan kepadanya, perbuatan konyol apalagi ini? Apa yang ada dikepalanya?

Jawabannya, di tengah isak-tangisnya, adalah : "Surat-surat itu untuk mommy.....".


Tiba-tiba mataku berkaca-kaca..... tapi aku mencoba mengendalikan emosi dan terus bertanya kepadanya: "Tapi kenapa kamu memposkan begitu banyak surat-surat, pada waktu yg sama?"

Jawaban anakku itu : "Aku telah menulis surat buat mommy untuk waktu yang lama, tapi setiap kali aku mau menjangkau kotak pos itu, terlalu tinggi bagiku, sehingga aku tidak dapat memposkan surat-suratku. Tapi baru-baru ini, ketika aku kembali ke kotak pos, aku bisa mencapai kotak itu dan aku mengirimkannya sekaligus".

Setelah mendengar penjelasannya ini, aku kehilangan kata-kata, aku bingung, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, dan apa yang harus aku katakan ....

Aku bilang pada anakku, "Nak, mommy sudah berada di surga, jadi untuk selanjutnya, jika kamu hendak menuliskan sesuatu untuk mommy, cukup dengan membakar surat tersebut maka surat akan sampai kepada mommy. Setelah mendengar hal ini, anakku jadi lebih tenang, dan segera setelah itu, ia bisa tidur dengan nyenyak. Aku berjanji akan membakar surat-surat atas namanya, jadi aku membawa surat-surat tersebut ke luar, tapi.... aku jadi penasaran untuk tidak membuka surat tersebut sebelum mereka berubah menjadi abu.

Dan salah satu dari isi surat-suratnya membuat hatiku hancur......

'Mommy sayang',

Aku sangat merindukanmu! Hari ini, ada sebuah acara 'Pertunjukan Bakat' di sekolah, dan mengundang semua ibu untuk hadir di pertunjukan tersebut. Tapi kamu tidak ada, jadi aku tidak ingin menghadirinya juga. Aku tidak memberitahu ayah tentang hal ini karena aku takut ayah akan mulai menangis dan merindukanmu lagi.

Saat itu untuk menyembunyikan kesedihan, aku duduk di depan komputer dan mulai bermain game di salah satu toko. Ayah keliling-keliling mencariku, setelah menemukanku ayah marah, dan aku hanya bisa diam, ayah memukul aku, tetapi aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya.

Mommy, setiap hari aku melihat ayah merindukanmu, setiap kali dia teringat padamu, ia begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di kamarnya. Aku pikir kita berdua amat sangat merindukanmu. Terlalu berat untuk kita berdua, aku rasa. Tapi mom, aku mulai melupakan wajahmu. Bisakah mommy muncul dalam mimpiku sehingga aku dapat melihat wajahmu dan ingat mommy? Temanku bilang jika kau tertidur dengan foto orang yang kamu rindukan, maka kamu akan melihat orang tersebut dalam mimpimu. Tapi mommy, mengapa engkau tak pernah muncul?


Setelah membaca surat itu, tangisku tidak bisa berhenti karena aku tidak pernah bisa menggantikan kesenjangan yang tak dapat digantikan semenjak ditinggalkan oleh istriku....

Saturday, January 23, 2010

PASTOR (KU) KUTU KUPRET

"Jika Anda mendengarkan seorang pastor menjalani retret 40 hari tanpa sebab sebab yang jelas (bagi telinga umat) maka itu artinya 50% dia dalam kondisi bahaya panggilan..." - binoceng

Sejak dibukanya Tahun Imam oleh Bapa Suci Paus Benediktus VI pada tanggal 19 Juni 2009 hingga 19 Juni 2010, semua Gereja turut berpartisipasi mengupayakan untuk “mendorong para imam dalam menggapai kesempurnaan rohani, sebagai landasan keberhasilan pelayanan mereka.” Mgr Pujasumarta, SJ - Uskup Bandung - malah mengemukakan 3 dimensi rahmat martabat imam yaitu : imamat kodrati, imamat umum dan imamat fungsional. Selanjutnya bisa dibaca di blognya http://pujasumarta.multiply.com.

Mengapa harus ada tahun Imam? Apakah spiritualitas imam Katolik jaman ini sudah benar-benar luntur? Apakah Imam Katolik sudah amat memprihatinkan??

Memasuki era globalisasi tidak menampik banyaknya perubahan gaya hidup manusia jaman ini. Tidak terkecuali adalah manusia yang namanya Pastor/Romo (sebutan imam Katolik) karena memang mereka itu bukannya dewa atau setengah malaikat yang mati rasa terhadap nikmatnya sajian dunia. Jangan meng-konotasi sajian dunia dengan hal ihwal negatif tetapi lihatlah sisi positifnya yaitu pada kemajuan dan daya tarik dunia yang mempersempit ruang dan jarak.

Siapakah yang mampu menolak tawaran yang nikmat bin asyik ini? Ngga ada kecuali jika dia itu monyet!

Sayangnya, para serdadu uskup yang tertahbis ini memang terbuai dengan kenikmatan sehingga 'kadang' pedang dan senjatanya ditanggalkan untuk sekedar menikmati diluar pedangnya. Maka wajar juga jika para pastor ini jadi lupa daratan. Lupa apakah dia didarat atau mendarat. Semua selalu berawal dari satu kesalahan yaitu LUPA.

Siapa yang harus disalahkan kalo pastornya LUPA bahwa dia itu PASTOR? Jangan salahkan Gereja kalau seorang Pastor bisa demikian sebab Gereja ngga bisa salah. Mari diurai bareng-bareng jangan-jangan :
1. Pendidikan calon imam di seminari cuma base on target alias kurikulum minded lupa bahwa manusianya perlu dikurikulumkan
2. Ada calon pastor tidak layak tahbis karena nilai spiritualitasnya lebih jelek dari nilai akademiknya.
3. Ada calon pastor yang 'nyogok' pamongnya agar diluluskan.
4. Jadi pastor biar ngga dibilang 'pengangguran abadi.
5. Karena kekurangan pastor maka pastor abal-abal juga ditahbiskan.
6. Dan seribu jangan-jangan yang lain

Namanya juga praduga... maka yang berkepentingan jangan protes!

Beberapa pastor di suatu keuskupan yang kalo ditugaskan ke salah satu paroki di keuskupannya selalu bilang "...cilaka.... gue masuk ke kandang macan. Selamat ngga ya gue?"

Mereka rata-rata mengetahui dengan baik bahwa paroki tersebut punya banyak prestasi merontokkan pastor menjadi awam. Sejak paroki itu didirikan sudah merontokkan 3 pastor menjadi awam, 3 pastor bermasalah, 5 frater gagal meneruskan panggilan imamatnya. Maka kalau uskupnya kepingin menguji tingkat spiritualitas dan ketangguhan pastornya, paroki ini menjadi begitu favorit sekaligus menakutkan.

Itu sekedar ilustrasi bagaimana seorang pastor melihat Gereja sebagai lawan atau musuh imamatnya. Tugas utamanya adalah sebagai gembala, tetapi jika cara berpikirnya menjadi demikian maka tugas itu sudah selesai ditangannya sendiri bukan karena Gereja. Phobia yang berlebihan ini mengakibatkan mutu pelayanan kepada umat menjadi tidak sempurna.

Pembinaan pastor purna tahbisan menjadi penting. Ini masukan buat Uskup agar para pastornya tidak menjadi 'kutu kupret' untuk menghasilkan manusia-manusia pastor yang pelayanannya juga kutu kupret.

Kutu kupret karena :
1. dia lupa bahwa dia itu gembala
2. dia lupa bahwa hidupnya 100% harus melayani.
3. dia lupa bahwa dia itu manusia yang bisa salah.
4. dia lupa bahwa dia telah menghabiskan uang umat untuk jadi pastor
5. dia lupa bahwa umat itu bukan musuh panggilannya.
6. dia lupa bahwa dia pernah mengucapkan kaul kekal imamat.

Semoga di tahun imam ini tidak banyak imam yang rontok di tengah-tengah jalan. Senantiasa memegang senjata dan pedang spiritulitas panggilan agar aman.

Thursday, January 21, 2010

HILANGNYA KESAKRALAN MISA KUDUS - MENCARI BENANG MERAH

Berawal dari catatan Romo Franz Magnis Suseno yang curhat di sebuah majalah HIDUP dan selanjutnya beredar di dunia maya tentang ketidak hormatan umat Katolik saat ini terhadap misa kudus. Beliau beranggapan bahwa umat sudah tidak mampu lagi melihat kesakralan misa yang adalah puncak dari perayaan iman sebagai akibat pengalamannya dalam misa malam Natal 2009 di salah satu paroki. Ketika itu umat bertepuk tangan pada saat pembagian hosti hanya karena seorang penyanyi solis dan paduan suara menyanyikan sebuah lagu yang menggugah mereka untuk tidak bertepuk tangan. Siapa yang salah??

Dalam dunia maya berkembang diskusi hangat membahas hal itu hingga berkembang pada sebab-sebab lain yang senada dengan keprihatinan Romo Franz Magnis Suseno.

Milis Apikatolik-lah yang akhirnya mencoba mencari benah merah itu melalui oret-oretan Romo Yohanes Samiran, SCJ. Berikut ini adalah petikan kesimpulannya :

Para Apikers,
Tampaknya pembicaraan kita sekitar perayaan ekaristi, baik menyangkut sikap anak-anak maupun sikap orang dewasa saat mengikuti perayaan ekaristi, pelan-pelan menuju titik terang. Bahwa semua masalah tadi pasti ada akar masalahnya. Dan salah satu akar masalah dari hal itu adalah soal "disiplin orang tua" baik terhadap anaknya mau pun terhadap dirinya sendiri. Contoh:
a. Kebiasaan datang terlambat ke gereja. Ini juga artinya banyak dari antara umat kurang disiplin terhadap waktu. Kalau seharusnya kita datang sebelum perayaan mulai, agar masih memiliki saat hening untuk mempersiapkan batin sebelum perayaan mulai, maka orang tidak disiplin ini justru kebalikannya. Keterlambatan itu menghambat banyak hal baik seperti ketertiban umum dalam gedung gereja, kesempatan anak untuk berbaur dengan sesama anak lain, dll.

b. Kurang terbiasa mendidik atau melatih anak untuk tertib, tidak peduli untuk menegur, tidak peduli bahwa anak atau kebiasaannya mengganggu orang lain, dll. Padahal ada banyak anak menjadi bandel, karena sebenarnya hanya "haus perhatian", lack of attenttion, lack of love. Maka anak mencari perhatian dengan bertingkah, dan senjata akhir adalah dengan berteriak dan membuat ulah sampai orang tuanya memberi waktu dan perhatian terhadap "tuntutannya". Semakin sering anak hanya mendapatkan perhatian dengan cara "berulah" ini, maka menjadi semacam habitus anak untuk menggunakan pola ini yakni mengganggu konsentrasi orang tuanya, maka kalau di tempat umum termasuk orang lain juga dengan ulahnya. Yang paling buruk adalah kalau orangtuanya menjadi kebal dan bebal, dan anaknya juga menjadi terbiasa berulah. Nanti sampai tua pun dia akan berpikir "oooo begitu toh cara mendidik anak itu ...."

c. Orang tua tidak mempunyai waktu untuk memberi waktu dan perhatian kepada anak: "momong" anak, mendongeng, menemani anak "belajar" dan bermain, bermain bersama anak, bahkan termasuk menemani anak makan, dan menghantarkannya tidur. Kekurang dekatan ini membuat orang tua tidak terampil bercerita, mendongeng, dan sekaligus akhirnya komunikasi dengan anak menjadi miskin atau tipis saja. Anak lebih banyak dibiarkan mencari "sahabat" menghabiskan waktu dan kebutuhan dasarnya dengan "yang lain", entah itu pembantu atau media hiburan lain: TV, PS, game lain, dll. yang nilai "pendidikannya" amat rendah.

d. Kesediaan orang dewasa lain - terutama yang mempunyai hati dan bakat mendampingi anak - untuk mengumpulkan mereka dan menemani atau mendampingi mereka saat perayaan ekaristi berlangsung. Bukan memisahkan mereka dari ekaristi, tetapi menemani mereka dalam mengikuti ekaristi. Pengalaman banyak orang yang biasa ditemani saat masa kecil . entah oleh suster atau guru BIA dll - justru membuat anak bisa menikmati perayaan ekaristi saat kelak mereka dewasa.

e. Kesediaan umat atau sesama umat untuk menegur orangtua atau umat yang "mengganggu" saat perayaan ekaristi, entah karena ngobrol, sms-an, atau membiarkan anaknya 'mengganggu' keheningan dan kekhusukan orang lain. Teguran perlu disampaikan dengan tulus dan santun, dan pasti yang bersangkutan tidak akan punya alasan untuk marah. Malu atau tersinggung barangkali YA, tetapi tidak ada alasan cukup untuk marah. Dan kalau dia atau mereka adalah orang yang punya hati dan perasaan dengan ditegur - apalagi kalau sampai lebih dari sekali oleh orang orang berbeda - maka pasti akan berubah juga. Tidak apa berubah dari terpaksa ini kalau terus dengan tekun dipertahankan oleh orang kurang disiplin tadi lama-lama pasti akan membawa perubahan perasaan dan sikap yang positif juga.

Dan bahwa orang yang KURANG DISPLIN itu mengganggu kenyamanan dan ketertiban umum - itu memang demikianlah adanya di mana saja. Jalanan itu umumnya macet karena orang yang kurang disiplin, seolah ia adalah raja jalanan atau satu-satunya orang yang perlu cepat sampai tujuan. Keruwetan kasus kita terjadi karena adanya orang tidak displin dan tidak merasa itu adalah kekeliruan yang perlu dikoreksi.

Pendeknya akibat dari kurang disiplin itu banyak menimbulkan "khaos" (chaos) dalam banyak bidang dan mengganggu kenyamanan dan kemapanan umum.
Jadi, tip pertama untuk kesimpulan pertama ini adalah: Mari kita mengembangkan semangat disiplin yang santun.

Para Apikers,
Saya coba buat oret-oretan saja untuk menyimpulkan atau menangkap apa-apa yang tampaknya terjadi di balik problematik yang kita diskusikan: Misa kudus, kekhusukan dan penghayatan yang seharusnya. Berikut lanjutan analisis saya di samping soal disiplin, rasanya juga soal pemahaman tata liturgi ekaristi yang benar menjadi soal yang melatar belakangi beberapa praktik yang kurang pas.

a. Pemahaman tentang fokus Perayaan Ekaristi.
- Dengan terbukanya sikap GK untuk partisipasi umat dalam Ekaristi (actuosa participatio) seringkali terjadi praktik yang kebablasan, karena orang kurang memahami inti Ekaristi dan lebih fokus kepada peran pribadinya. Contoh petugas koor atau nyanyian, seringkali karena ingin membawakan nyanyian atau memandu nyanyian sebaik mungkin selama Misa pun konsentrasinya pada soal nyanyiannya: si dirigen terus latihan dirigen, yang solis terus latihan melancarkan lagunya, yang organis terus latihan organ, dll. Memang bisa saja akhirnya iringan paduan suara tampil sempurna atau amat baik, tetapi praktis selama Misa mereka tidak fokus mengikuti inti ekaristi itu sendiri karena terus pikiran dan aksinya dikuasai oleh tugas-tugasnya.

- Dari pola yang sama, maka orang mengukur sukses atau tidaknya misa saat mereka bertugas diukur dari apakah mereka puas atau tidak dengan PENAMPILAN mereka dalam Misa itu. Di lain pihak ada orang atau kelompok yang kecewa karena - atau kalau lupa - diterimakasihi atau disebut saat perayaan itu usai. Sebaliknya orang akan bangga dan tanpa sadar menjadi semacam tradisi diri atau kelompok bahwa setiap tampil harus mendapatkan applaus umat, sehingga tidak jarang juga dicari lagu-lagu yang memang endingnya mengundang applaus itu.

b. Penjelasan atau katekese tentang Liturgi Ekaristi.
- Dari problematik (a) di atas, maka kita sadar perlunya penjelasan resmi tentang Liturgi Ekaristi yang benar dan baik. Sebenarnya dengan perubahan TPE 2005 – Gereja Katolik mempunyai peluang yang baik dan pas untuk mengulang kembali apa itu dan bagaimana merayakan Ekaristi yang baik dan benar. Sayang tampaknya kesempatan itu tidak sampai menjangkau semua umat. Hal itu bisa kelihatan dengan masih banyaknya praktik keliru atau pertanyaan-pertanyaan sekitar ekaristi yang sebenarnya seharusnya jelas kalau hal di atas dilakukan. Contoh lain adalah soal lagu-lagu yang tidak tepat dengan TPE dan menggantikan TPE baku.

- Semakin banyaknya orang yang bisa terlibat langsung untuk mendukung Perayaan Ekaristi sebenarnya mengandaikan bahwa semua yang terlibat itu tahu dengan baik hakekat Perayaan Ekaristi yang harus didukungnya itu.

- Dari sini rasanya di suatu paroki, entah caranya bagaimana - para gembala setempat harus memikirkan solusinya, umat harus pernah mendapatkan penjelasan tentang TPE yang seharusnya itu. Entah itu diberikan secara sistematis, misalnya dalam suatu lokakarya atau sejenisnya, ataupun melalui katekese lingkungan, wilayah atau kelompok kategorial; ataupun secara pelan-pelan, misalnya disisipkan melalui homili/khotbah, atau melalui pengumuman atau pengantar Perayaan Ekaristi.

c. Kalau (a) dan (b) tidak dilakukan, maka melihat praktik yang sekarang ada, kita bisa mengerti bahwa akhirnya memang akan banyak umat kurang mampu menghayati Misa dengan tepat. Mengapa? Pengetahuan yang dimiliki terbatas atau nol, atau malahan keliru. Tidak sedikit umat yang memiliki pengetahuan tentang Misa dari asumsinya sendiri dari pengamatan yang ia buat dan ikuti selama ia menjadi katolik dan mengikuti perayaan ekaristi. Soalnya menjadi serius kalau ternyata selama ini ia mengikuti Misa secara keliru, seperti:
- datang terlambat - karena tidak pernah ada yang menegur dan ikut antri komuni pun diberi, ya akhirnya berkesimpulan bahwa telat itu biasa, yang penting masih bisa ikut komuni.
- Atau melihat bahwa Koor Anu membawakan lagu ITU maka artinya lagu ITU boleh dipakai dalam Misa. Paling parah kalau ternyata itu adalah menyangkut bagian ordinarium dan diganti dengan lagu yang tidak sesuai dengan TPE.
- Melihat bahwa si ANU ke gereja dengan pakaian "seperti itu" - ternyata tidak ditegur ..... artinya boleh.
- Melihat bahwa banyak UMAT ngobrol selama misa, atau santai di gereja ...... artinya boleh dan biasa.

Akhirnya kalau seseorang dibesarkan dalam paham dan pengalaman salah semacam ini, tidak mustahil bahwa akhirnya respect atau hormat akan ekaristi juga kurang atau keliru. Bahkan akhirnya pemahaman tentang hakekat ekaristi dan sakramen-sakramen lain pun bisa keliru. Misa dilihat sebagai Perayaan saja, rutinitas tanpa perlu spiritualitas tertentu. Praktik itu akan kelihatan kalau ada misa khusus atau perayaan, di mana seringkali Misa dikorbankan demi perayaan khusus atau intensi khusus itu. Contoh:
- Misa perkawinan seringkali banyak hal tidak pas dan tidak menghormati Ekaristi sendiri. Mereka sibuk dengan hal remeh temeh, seperti soal pakaian, soal duduknya pengantin, soal dokumentasi, pengiring, dll. Bahkan tidak jarang koor menjadi lebih dominan daripada Liturgi Ekaristinya. Imam yang sedang mengucapkan rumus-rumus liturgis itu tenggelam dan kalah oleh kehebatan sound system, penyanyi atau koor.
- Dalam misa khusus - seringkali Misa hanya seolah tempelan saja, dan fokus lebih ke acara khusus itu: ulang tahun, pemberkatan anu, kelompok kategorial tertentu .... dlsb.