Thursday, March 12, 2009

KATOLIK KUTU KUPRET

Membangun kehidupan menggereja di lingkungan menjadi acara yang tidak menarik di jaman ini. Banyak umat Katolik justru meninggalkan pertemuan doa lingkungan dengan berbagai alasan. Ada yang merasa bahwa kegiatan di lingkungan tidak ada gunanya. Ada juga yang merasa sakit hati; ada yang sudah aktif di tempat lain, merasa terbebani pekerjaan sehingga tidak ada waktu, sudah punya komunitas lain, sering berpindah-pindah, dan ada juga yang tidak peduli.

Pandangan umat yang demikian cenderung defensif dan tidak mudah terbuka. Merasa nyaman dengan keadaan seperti ini mungkin lebih baik daripada harus terlibat aktif tetapi malah akhirnya bermasalah. Maka kegiatan rohani yang bisa dilakukannya adalah pergi ke gereja, mengikuti misa, mendengarkan sabda Allah, menerima ekaristi, pulang, selesai! Dia sudah tidak peduli lagi dengan tetangga seimannya yang sedang sekarat, atau dia sudah tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengenali saudara seimannya di lingkungan. Yang cukup memprihatinkan adalah mungkin dia juga tidak peduli lagi dengan pembinaan iman anak-anaknya sebab kebutuhan rohaninya hanya sampai pada misa dan pulang ke rumah. Kita dengan mudahnya mengatakan kegiatan lingkungan tidak menarik ya selamanya akan seperti itu sebab diri kitalah sebenarnya yang membuat tidak menarik. Kita merasa malu untuk berkumpul dan tidak mengenal orang lain, akan selamanya seperti itu karena diri kitalah yang cenderung menutup diri untuk tidak ingin disapa. Jika komunitas ini dihidupi dengan situasi seperti di atas maka jangan salahkan Gereja masa depan karena ternyata Gereja kutu kupretlah yang sedang membangunnya untuk masa depan.

Rupanya situasi saat ini tidak begitu jauh berbeda dengan situasi jemaat Galatia di jaman Rasul Paulus. Hal ini menjadi begitu menarik ketika situasi semacam ini dengan gamblangnya diungkap oleh Rasul Paulus yang menulis nasehatnya kepada jemaat di sana dalam Gal 6 : 1-10 dan menantang kita untuk merefleksikan diri apa yang bisa kita berbuat terhadap saudara seiman?

Lingkungan sebagai komunitas basis menjadi focus pemberdayaan Gereja. Strategi yang digunakan untuk memberdayakan komunitas basis ini adalah gembala baik. Artinya setiap anggota diajak untuk mencari dan menemukan yang hilang dari dalam komunitasnya dan mengajak untuk terlibat aktif. Persoalannya akan menjadi lain jika kita tidak siap menjadi gembala baik.

Ciri utama seorang gembala baik yang dituntut oleh Rasul Paulus adalah :
1. mau bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan menguji pekerjaannya. Adalah suatu sikap sombong diri dan menipu diri sendiri ketika kita berpikir bahwa diri kita dengan talenta yang kita miliki merasa sangat berarti bagi komunitas padahal tidak apalagi kehadirannya tidak membawa berkat.
2. mau bertanggung jawab terhadap orang lain. Dibutuhkan sikap kesabaran yang luar biasa ketika kita hendak mengajak saudara kita untuk kembali ‘pulang’.
3. saling memperhatikan atau saling membangun sikap peduli. Ini menjadi begitu indah dilihat ketika satu dengan yang lain memiliki sikap peduli yang sama sehingga tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan.
4. mau bertanggung jawab terhadap kehidupan menggereja di lingkungan. Nasehat terakhir dalam perikop ini ada pada ayat 10 yang bunyinya : “..Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman…”

Itulah ciri gembala baik yang diharapkan oleh Gereja untuk menghidupi kegiatan di komunitas basis. Hanya kita yang bisa menghidupi diri kita dan tidak bisa menyerahkannya kepada orang lain (komunitas lain) untuk mengurusi diri kita, bukan?

Wajah kita pada masa yang akan datang ditentukan oleh cara kita mewarnainya saat ini. Jika kita benar-benar menjadi Katolik yang Kutu Kupret, yang mau enaknya sendiri dan tidak memikirkan saudara seimannya, yang suka pilih-pilih peduli yang tidak suka tidak dipedulikan, yang merasa saya tidak butuh lingkungan, yang punya sikap masa bodoh terhadap lingkungan, maka Katolik Kutu Kupretlah Gereja masa yang akan datang.

Karenanya nasehat Paulus yang satu ini : Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah menjadi motivasi bagi kita untuk tidak menjadikan diri kita sebagai seorang Katolik Kutu Kupret yang lemah di saat kita harus menuai hasil yang kita tabur.

Monday, March 09, 2009

ORANG KOTA DAN SOPIR ANGKOT

Kalau mau lihat karakter orang kota lihatlah sopir angkotnya.

Setelah hampir 30 tahun sejak pencanangan Indonesia memasuki era pembangunan fisik sejak jaman Soeharto, Indonesia sudah berhasil membangun manusianya dari bangsa kuli menjadi sopir angkot. Ini sebuah prestasi? Tidak juga karena hanya beda tipis antara kuli dengan sopir angkot. Bangsa kuli selalu mengandalkan ototnya ketimbang otaknya. Porsi penggunaan otot 90% dan otak hanya 10%. Sopir angkot hanya menggunakan 60% kekuatannya dan 40% otaknya. Dari 40% itupun setengahnya dipakai untuk menghitung untung rugi setoran dan setengahnya lagi untuk mencari selamat sendiri.

Mau lihat ciri-ciri sopir angkot Indonesia?
1. Cenderung tidak tertib
2. Tidak punya rasa peduli
3. Memikirkan diri sendiri
4. Tidak punya santun di jalan
5. Idiot dalam pengelola pekerjaan
6. Cepat puas dengan keterbatasan
7. Malas

Seperti inilah manusia kota Indonesia "saat ini".

Karena bentuk pencitraan yang demikian membuat bangsa ini sangat jauh dari sikap normatif manusia yang tertib, punya rasa, santun, memikirkan orang lain.

Hare..gene.. mikirin orang lain.... makan aja susah?? Ya... seperti inilah manusia kota di Indonesia mencitrakan dirinya sendiri. Anda puas???

Saturday, March 07, 2009

JANJI SANG CALEG

Indonesia memasuki tahun pemilu, tahunnya kampanye dan tahunnya janji-janji muluk sang politisi. Lebih dari separuh tahun ini diisi dengan macam-macam kampanye caleg yang lucu, norak, gombal, narsis, ngga masuk akal hingga kehilangan akal. Lihat saja di http://www.calegindonesia.com

Aku jadi berpikir, seberapa besar pengorbanan yang akan dialaminya mengingat persaingan sudah semakin ketat. Jika mereka melenggang ke gedung rakyat apakah masih ingat dengan janji-janji mereka. Apakah tidak mungkin yang pertama kali dipikirkannya adalah bagaimana bisa menarik modal apa yang sudah dikorbankan demi mengumbar janji untuk duduk di kursi selebriti dewan yang terhormat.

Entahlah.... bahkan aku sendiri juga sangsi dengan integritas mereka. Persetan dech caleg mau ngomong apa kalau mereka sendiri 'sebenarnya' tidak paham dengan Indonesia.

Aku jadi inget dengan kalimat janji ini : ".... Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu..." .

Indonesia sudah terlalu lama menanggung letih dan lesu apalagi beban beratnya semakin hari semakin bertambah. Apakah caleg-caleg yang gambarnya terpampang di sudut-sudut jalan itu mampu memberikan kelegaan untuk Indonesia. Jika tidak dan malah menambah beban saja sebaiknya copot saja gambar-gambar itu dan ganti dengan gambar monyet sebab barangkali dia bisa memberikan kelegaan itu. .... Kepada siapa sebenarnya kuk yang terpasang itu akan dipikul??

Andaikan pelantun kalimat itu ada di sini, di Indonesia ini, seharusnya aku menyerahkan Indonesia kepadanya, tidak kepada caleg-caleg itu yang paling kerjanya cuma bisa tidur di kursi dewan. Mungkin tidak juga kepada presiden sebab musuhnya terlalu banyak. Sanggupkah dia??

Entahlah.... sementara itu waktu terus berjalan menuju hari penyerahan diri Indonesia. Ke pundak siapa beban itu akan dipikul?