Tiga puluh hari sudah aku lewati masa itu dengan urusan chatting. Ini bukan hal yang luar biasa karena aku pernah melakukan hal yang sama. Yang menjadi kegilaan selama masa itu adalah bahwa aku jalani itu sepanjang hari dan ini sangat jarang kulakukan. ‘Crazy chat’ atau apalah istilah untuk kegilaan chat mungkin pilihan kata yang tepat.
Adalah Endah, teman chat, kucoba hubungi karena sudah tahunan tidak kujumpai. Status id-nya yang offline tak mengurungkan niat sedikitpun untuk mengkontaknya tokh kapanpun message-ku ini dikirim tetap akan sampai kepadanya meski untuk beberapa waktu kemudian. “Hallo… apa kabar?”. Tiga kata basa-basi mengawali perjumpaan ini.
Esoknya kubuka kembali messager-ku dan kudapati sebuah pesan baru.
“Kabar baik, Mas! Gimana di sana…? Sehat semuakah?” Hm.. rupanya ini adalah jawaban atas message-ku kemarin.
Aku tidak segera menjawab karena kupikir ini juga sekedar basa-basi. Tiba-tiba beberapa menit kemudian Endah mengirimkan sebuah message baru padahal aku tidak melihat id-nya aktif. Hm… pintar juga dia memasang status invisible agar tidak terbaca semua orang. Sama seperti yang sering kulakukan terhadap yang lain.
Terjadilah komunikasi yang intens selama 30 hari itu. Dari sekedar basa-basi akhirnya muncul rasa simpati. Dari awalnya cuma ‘say hello’ kini menjadi begitu care. Tiga puluh hari bisa mengubah segalanya. Komunikasi inipun bagai curhat di dunia maya. Yang satu mencoba berbagi yang lainnya hanya bisa menanggapi.
Aku benar-benar baru tahu saat ini. Seorang Endah berani menantang Jakarta tanpa ada orang yang bisa dijadikan penjamin hidupnya. Wanita yang terlihat lemah ini hanya mengandalkan kemampuan mandirinya untuk hidup di tengah kota ini. Tidaklah mengherankan jika perjalanan hidupnya di Jakarta bagai bandul jam yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Kadang dijalaninya dengan biasa saja, kadang harus disertai dengan isak air mata. Ke mana dia harus mengadukan nasibnya? Hidup terlunta-lunta tanpa teman bukan pilihan yang harus diterimanya tetapi keadaan menuntunnya ke arah itu. Banyak cerita-cerita baru tentang dirinya. Bagaimana dia harus berpindah pekerjaan karena kondisi sulit perusahaannya? Bagaimana dia mengalami cobaan ketika kost-nya terbakar dan hanya sepasang baju yang dia pakai untuk bertahan semalam? Bagaimana dia harus tinggal di rumah sakit saat malam Natal 2009 karena sakit maag yang terbilang cukup serius? Bagaimana sikap diskriminasi di kantornya yang baru menyebabkan dia hampir saja ‘give up’? Bagaimana dia harus bertahan hidup –seandainya- dia benar-benar jobless? Belum lagi perlakuan diskriminasi etnis yang harus dia terima dari masyarakat kota yang boleh dibilang berpendidikan.
Rasa empatiku tiba-tiba muncul untuk menanggapi keluhan atas kodrat dirinya yang terlahir dari etnis China dan perlakuan masyarakat yang diterimanya. Sungguh diluar dugaanku. Melalui huruf-huruf di keyboard yang kurangkai menjadi beberapa kalimat kujadikan sebuah penguat buat dirinya meskipun aku sendiri tidak merasa yakin apakah ini bisa menghiburnya karena aku bukan seorang dari etnis yang sama.
Suatu ketika dia bercerita bagaimana dirinya diperlakukan tidak wajar di kantornya. Sejak dia bergabung dengan perusahaan yang baru ini muncul ketidakwajaran yang harus dia terima mulai dari kehadirannya yang tidak ditanggapi hingga benar-benar memang dianggap tidak ada, artinya ada atau tidak ada dia di kantor, pekerjaan tidak sedang menantinya.
Aneh sekali! Lalu kenapa kamu direkrut di tempat itu?” tanyaku dalam sebuah chat room.
Pertanyaan itu muncul sebagai akibat diskriminasi yang dialaminya karena dia seorang etnis China dan beragama Katolik pula. Minoritas ganda ini menjadi batu sandungan di lingkungan kerjanya. Situasinya benar-benar tidak nyaman sekali, ceritanya berulang-ulang. Siapa sih yang bisa memilih untuk terlahir sebagai seorang China atau tidak? Pertanyaan inipun tidak mampu dijawab oleh orang-orang yang merasa dirinya sebagai anggota komunitas dominant di Indonesia.
Perlakuan yang diterima selama berbulan-bulan itu mencapai titik puncaknya dimana akhirnya dia jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit di malam Natal 2009. Rupanya kondisi fisik dan tekanan batin yang dihantamkan ke arahnya menyebabkan metabolisme tubuh terganggu oleh karena banyak pikiran dan rusaknya pola makan.
Aku jadi ingat pada tanggal 23 Desember 2009 di sebuah status facebook terbaca suatu berita mengejutkan. ‘..Endah masuk rumah sakit!” Status facebook seseorang yang menjadi sumber berita itu harus kucari kebenarannya. Dan terkonfirmasi bahwa dia harus menikmati malam Natalnya di rumah sakit.
"..malam kudus, sunyi senyap..."
Lagu Malam Kudus itu berkumandang namun sayangnya harus dia dengarkan di bangsal rumah sakit. Benar-benar sunyi senyap di sini, katanya. Dia tidak pernah membayangkan itu sebelumnya. Aku tahu ada perasaan sedih ketika dia harus mengalami situasi seperti ini. Dan semua tercurah sama persis dalam curhatnya di chat room. Endah, malang nian nasibmu.
Aku seperti tak pernah kehabisan kata-kata. Huruf-huruf dalam keyboard itu meluncur membantuku menyusun kalimat-kalimat yang menguatkan dirinya bagai sebatang bambu. Saat-saat seperti ini ibarat sebuah pohon yang rapuh dahannya perlu ditopang. Sebatang bambu hanyalah sebuah pilihan sampai pada masanya dahan cukup kuat untuk siap menjalani kehidupan selanjutnya. Apa yang aku lakukan hanya sekedar sebatang bambu.
Menuliskan banyak hal tentang hidup mengajarkan orang untuk mengerti hakekat hidup itu seperti apa. Kita kadang melihat suatu permasalahan yang kecil dari keseluruhan perjalanan hidup seperti gelombang tsunami yang mematikan padahal mungkin saja itu hanya riak-riak kecil yang bertujuan mengolah diri kita untuk bersiap pada permasalahan yang besar.
Perlakuan diskriminasi etnis dan agama memang masih muncul di negeri ini bagai sengatan listrik arus rendah yang tidak mematikan tapi cukup menjengkelkan. Bagaimana kita harus menanggapi perlakuan seperti itu? Menolak takdir bukanlah jawaban. Menantangpun tidak memberikan solusi apa-apa. Maka yang terpenting adalah melakukan sesuatu dengan benar. Resiko dari korban tindakan diskriminasi adalah selalu salah. Melakukan tindakan yang benar saja dicari celah salahnya apalagi melakukan tindakan yang tidak benar, selesai sudah.
Dan ini terjadi seperti yang dialami oleh Endah, temanku yang ditakdirkan sebagai kaum minoritas ganda. Wanita berdarah oriental dan berparas ayu ini memiliki segudang pengalaman pahit yang akan dia bawa sepanjang perjalanan hidupnya. Dan dalam curhat selama 30 hari itu ada sesuatu yang bisa direfleksikan dalam hidup.
Curhat tiga puluh hari melegakan kelu lidahnya
Curhat tiga puluh hari membawa dirinya untuk segera bangkit
Curhat tiga puluh hari meringankan langkah kakinya untuk segera beranjak pergi dengan semangat baru.
Curhat tiga puluh hari akhirnya melibatkan aku untuk membantunya meringankan kuk-kuk yang berat dipundaknya itu untuk kuserahkan kepada Tuhan dalam doa.
“Bapa, perjalanan 30 hari bersamanya belum seberapa berat ketimbang beban salib yang harus dibawa oleh PuteraMu, Yesus ke bukit Golgota. Rasanya ini malah menambah beban salibNya saja. Ajarilah kami mengucap syukur -walau hanya sedikit- untuk kuk-kuk yang kami bawa sepanjang hidup kami. Angkatlah kuk ini dan satukanlah dengan salib PuteraMu bila kami sudah tidak kuat lagi menanggungnya. Ini lantaran kami percaya berkat pengorbanan Puteramu di kayu salib”.
Selamat menjalani retret agung pra paskah 2010
Monday, March 01, 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)