Saturday, January 23, 2010

PASTOR (KU) KUTU KUPRET

"Jika Anda mendengarkan seorang pastor menjalani retret 40 hari tanpa sebab sebab yang jelas (bagi telinga umat) maka itu artinya 50% dia dalam kondisi bahaya panggilan..." - binoceng

Sejak dibukanya Tahun Imam oleh Bapa Suci Paus Benediktus VI pada tanggal 19 Juni 2009 hingga 19 Juni 2010, semua Gereja turut berpartisipasi mengupayakan untuk “mendorong para imam dalam menggapai kesempurnaan rohani, sebagai landasan keberhasilan pelayanan mereka.” Mgr Pujasumarta, SJ - Uskup Bandung - malah mengemukakan 3 dimensi rahmat martabat imam yaitu : imamat kodrati, imamat umum dan imamat fungsional. Selanjutnya bisa dibaca di blognya http://pujasumarta.multiply.com.

Mengapa harus ada tahun Imam? Apakah spiritualitas imam Katolik jaman ini sudah benar-benar luntur? Apakah Imam Katolik sudah amat memprihatinkan??

Memasuki era globalisasi tidak menampik banyaknya perubahan gaya hidup manusia jaman ini. Tidak terkecuali adalah manusia yang namanya Pastor/Romo (sebutan imam Katolik) karena memang mereka itu bukannya dewa atau setengah malaikat yang mati rasa terhadap nikmatnya sajian dunia. Jangan meng-konotasi sajian dunia dengan hal ihwal negatif tetapi lihatlah sisi positifnya yaitu pada kemajuan dan daya tarik dunia yang mempersempit ruang dan jarak.

Siapakah yang mampu menolak tawaran yang nikmat bin asyik ini? Ngga ada kecuali jika dia itu monyet!

Sayangnya, para serdadu uskup yang tertahbis ini memang terbuai dengan kenikmatan sehingga 'kadang' pedang dan senjatanya ditanggalkan untuk sekedar menikmati diluar pedangnya. Maka wajar juga jika para pastor ini jadi lupa daratan. Lupa apakah dia didarat atau mendarat. Semua selalu berawal dari satu kesalahan yaitu LUPA.

Siapa yang harus disalahkan kalo pastornya LUPA bahwa dia itu PASTOR? Jangan salahkan Gereja kalau seorang Pastor bisa demikian sebab Gereja ngga bisa salah. Mari diurai bareng-bareng jangan-jangan :
1. Pendidikan calon imam di seminari cuma base on target alias kurikulum minded lupa bahwa manusianya perlu dikurikulumkan
2. Ada calon pastor tidak layak tahbis karena nilai spiritualitasnya lebih jelek dari nilai akademiknya.
3. Ada calon pastor yang 'nyogok' pamongnya agar diluluskan.
4. Jadi pastor biar ngga dibilang 'pengangguran abadi.
5. Karena kekurangan pastor maka pastor abal-abal juga ditahbiskan.
6. Dan seribu jangan-jangan yang lain

Namanya juga praduga... maka yang berkepentingan jangan protes!

Beberapa pastor di suatu keuskupan yang kalo ditugaskan ke salah satu paroki di keuskupannya selalu bilang "...cilaka.... gue masuk ke kandang macan. Selamat ngga ya gue?"

Mereka rata-rata mengetahui dengan baik bahwa paroki tersebut punya banyak prestasi merontokkan pastor menjadi awam. Sejak paroki itu didirikan sudah merontokkan 3 pastor menjadi awam, 3 pastor bermasalah, 5 frater gagal meneruskan panggilan imamatnya. Maka kalau uskupnya kepingin menguji tingkat spiritualitas dan ketangguhan pastornya, paroki ini menjadi begitu favorit sekaligus menakutkan.

Itu sekedar ilustrasi bagaimana seorang pastor melihat Gereja sebagai lawan atau musuh imamatnya. Tugas utamanya adalah sebagai gembala, tetapi jika cara berpikirnya menjadi demikian maka tugas itu sudah selesai ditangannya sendiri bukan karena Gereja. Phobia yang berlebihan ini mengakibatkan mutu pelayanan kepada umat menjadi tidak sempurna.

Pembinaan pastor purna tahbisan menjadi penting. Ini masukan buat Uskup agar para pastornya tidak menjadi 'kutu kupret' untuk menghasilkan manusia-manusia pastor yang pelayanannya juga kutu kupret.

Kutu kupret karena :
1. dia lupa bahwa dia itu gembala
2. dia lupa bahwa hidupnya 100% harus melayani.
3. dia lupa bahwa dia itu manusia yang bisa salah.
4. dia lupa bahwa dia telah menghabiskan uang umat untuk jadi pastor
5. dia lupa bahwa umat itu bukan musuh panggilannya.
6. dia lupa bahwa dia pernah mengucapkan kaul kekal imamat.

Semoga di tahun imam ini tidak banyak imam yang rontok di tengah-tengah jalan. Senantiasa memegang senjata dan pedang spiritulitas panggilan agar aman.

Thursday, January 21, 2010

HILANGNYA KESAKRALAN MISA KUDUS - MENCARI BENANG MERAH

Berawal dari catatan Romo Franz Magnis Suseno yang curhat di sebuah majalah HIDUP dan selanjutnya beredar di dunia maya tentang ketidak hormatan umat Katolik saat ini terhadap misa kudus. Beliau beranggapan bahwa umat sudah tidak mampu lagi melihat kesakralan misa yang adalah puncak dari perayaan iman sebagai akibat pengalamannya dalam misa malam Natal 2009 di salah satu paroki. Ketika itu umat bertepuk tangan pada saat pembagian hosti hanya karena seorang penyanyi solis dan paduan suara menyanyikan sebuah lagu yang menggugah mereka untuk tidak bertepuk tangan. Siapa yang salah??

Dalam dunia maya berkembang diskusi hangat membahas hal itu hingga berkembang pada sebab-sebab lain yang senada dengan keprihatinan Romo Franz Magnis Suseno.

Milis Apikatolik-lah yang akhirnya mencoba mencari benah merah itu melalui oret-oretan Romo Yohanes Samiran, SCJ. Berikut ini adalah petikan kesimpulannya :

Para Apikers,
Tampaknya pembicaraan kita sekitar perayaan ekaristi, baik menyangkut sikap anak-anak maupun sikap orang dewasa saat mengikuti perayaan ekaristi, pelan-pelan menuju titik terang. Bahwa semua masalah tadi pasti ada akar masalahnya. Dan salah satu akar masalah dari hal itu adalah soal "disiplin orang tua" baik terhadap anaknya mau pun terhadap dirinya sendiri. Contoh:
a. Kebiasaan datang terlambat ke gereja. Ini juga artinya banyak dari antara umat kurang disiplin terhadap waktu. Kalau seharusnya kita datang sebelum perayaan mulai, agar masih memiliki saat hening untuk mempersiapkan batin sebelum perayaan mulai, maka orang tidak disiplin ini justru kebalikannya. Keterlambatan itu menghambat banyak hal baik seperti ketertiban umum dalam gedung gereja, kesempatan anak untuk berbaur dengan sesama anak lain, dll.

b. Kurang terbiasa mendidik atau melatih anak untuk tertib, tidak peduli untuk menegur, tidak peduli bahwa anak atau kebiasaannya mengganggu orang lain, dll. Padahal ada banyak anak menjadi bandel, karena sebenarnya hanya "haus perhatian", lack of attenttion, lack of love. Maka anak mencari perhatian dengan bertingkah, dan senjata akhir adalah dengan berteriak dan membuat ulah sampai orang tuanya memberi waktu dan perhatian terhadap "tuntutannya". Semakin sering anak hanya mendapatkan perhatian dengan cara "berulah" ini, maka menjadi semacam habitus anak untuk menggunakan pola ini yakni mengganggu konsentrasi orang tuanya, maka kalau di tempat umum termasuk orang lain juga dengan ulahnya. Yang paling buruk adalah kalau orangtuanya menjadi kebal dan bebal, dan anaknya juga menjadi terbiasa berulah. Nanti sampai tua pun dia akan berpikir "oooo begitu toh cara mendidik anak itu ...."

c. Orang tua tidak mempunyai waktu untuk memberi waktu dan perhatian kepada anak: "momong" anak, mendongeng, menemani anak "belajar" dan bermain, bermain bersama anak, bahkan termasuk menemani anak makan, dan menghantarkannya tidur. Kekurang dekatan ini membuat orang tua tidak terampil bercerita, mendongeng, dan sekaligus akhirnya komunikasi dengan anak menjadi miskin atau tipis saja. Anak lebih banyak dibiarkan mencari "sahabat" menghabiskan waktu dan kebutuhan dasarnya dengan "yang lain", entah itu pembantu atau media hiburan lain: TV, PS, game lain, dll. yang nilai "pendidikannya" amat rendah.

d. Kesediaan orang dewasa lain - terutama yang mempunyai hati dan bakat mendampingi anak - untuk mengumpulkan mereka dan menemani atau mendampingi mereka saat perayaan ekaristi berlangsung. Bukan memisahkan mereka dari ekaristi, tetapi menemani mereka dalam mengikuti ekaristi. Pengalaman banyak orang yang biasa ditemani saat masa kecil . entah oleh suster atau guru BIA dll - justru membuat anak bisa menikmati perayaan ekaristi saat kelak mereka dewasa.

e. Kesediaan umat atau sesama umat untuk menegur orangtua atau umat yang "mengganggu" saat perayaan ekaristi, entah karena ngobrol, sms-an, atau membiarkan anaknya 'mengganggu' keheningan dan kekhusukan orang lain. Teguran perlu disampaikan dengan tulus dan santun, dan pasti yang bersangkutan tidak akan punya alasan untuk marah. Malu atau tersinggung barangkali YA, tetapi tidak ada alasan cukup untuk marah. Dan kalau dia atau mereka adalah orang yang punya hati dan perasaan dengan ditegur - apalagi kalau sampai lebih dari sekali oleh orang orang berbeda - maka pasti akan berubah juga. Tidak apa berubah dari terpaksa ini kalau terus dengan tekun dipertahankan oleh orang kurang disiplin tadi lama-lama pasti akan membawa perubahan perasaan dan sikap yang positif juga.

Dan bahwa orang yang KURANG DISPLIN itu mengganggu kenyamanan dan ketertiban umum - itu memang demikianlah adanya di mana saja. Jalanan itu umumnya macet karena orang yang kurang disiplin, seolah ia adalah raja jalanan atau satu-satunya orang yang perlu cepat sampai tujuan. Keruwetan kasus kita terjadi karena adanya orang tidak displin dan tidak merasa itu adalah kekeliruan yang perlu dikoreksi.

Pendeknya akibat dari kurang disiplin itu banyak menimbulkan "khaos" (chaos) dalam banyak bidang dan mengganggu kenyamanan dan kemapanan umum.
Jadi, tip pertama untuk kesimpulan pertama ini adalah: Mari kita mengembangkan semangat disiplin yang santun.

Para Apikers,
Saya coba buat oret-oretan saja untuk menyimpulkan atau menangkap apa-apa yang tampaknya terjadi di balik problematik yang kita diskusikan: Misa kudus, kekhusukan dan penghayatan yang seharusnya. Berikut lanjutan analisis saya di samping soal disiplin, rasanya juga soal pemahaman tata liturgi ekaristi yang benar menjadi soal yang melatar belakangi beberapa praktik yang kurang pas.

a. Pemahaman tentang fokus Perayaan Ekaristi.
- Dengan terbukanya sikap GK untuk partisipasi umat dalam Ekaristi (actuosa participatio) seringkali terjadi praktik yang kebablasan, karena orang kurang memahami inti Ekaristi dan lebih fokus kepada peran pribadinya. Contoh petugas koor atau nyanyian, seringkali karena ingin membawakan nyanyian atau memandu nyanyian sebaik mungkin selama Misa pun konsentrasinya pada soal nyanyiannya: si dirigen terus latihan dirigen, yang solis terus latihan melancarkan lagunya, yang organis terus latihan organ, dll. Memang bisa saja akhirnya iringan paduan suara tampil sempurna atau amat baik, tetapi praktis selama Misa mereka tidak fokus mengikuti inti ekaristi itu sendiri karena terus pikiran dan aksinya dikuasai oleh tugas-tugasnya.

- Dari pola yang sama, maka orang mengukur sukses atau tidaknya misa saat mereka bertugas diukur dari apakah mereka puas atau tidak dengan PENAMPILAN mereka dalam Misa itu. Di lain pihak ada orang atau kelompok yang kecewa karena - atau kalau lupa - diterimakasihi atau disebut saat perayaan itu usai. Sebaliknya orang akan bangga dan tanpa sadar menjadi semacam tradisi diri atau kelompok bahwa setiap tampil harus mendapatkan applaus umat, sehingga tidak jarang juga dicari lagu-lagu yang memang endingnya mengundang applaus itu.

b. Penjelasan atau katekese tentang Liturgi Ekaristi.
- Dari problematik (a) di atas, maka kita sadar perlunya penjelasan resmi tentang Liturgi Ekaristi yang benar dan baik. Sebenarnya dengan perubahan TPE 2005 – Gereja Katolik mempunyai peluang yang baik dan pas untuk mengulang kembali apa itu dan bagaimana merayakan Ekaristi yang baik dan benar. Sayang tampaknya kesempatan itu tidak sampai menjangkau semua umat. Hal itu bisa kelihatan dengan masih banyaknya praktik keliru atau pertanyaan-pertanyaan sekitar ekaristi yang sebenarnya seharusnya jelas kalau hal di atas dilakukan. Contoh lain adalah soal lagu-lagu yang tidak tepat dengan TPE dan menggantikan TPE baku.

- Semakin banyaknya orang yang bisa terlibat langsung untuk mendukung Perayaan Ekaristi sebenarnya mengandaikan bahwa semua yang terlibat itu tahu dengan baik hakekat Perayaan Ekaristi yang harus didukungnya itu.

- Dari sini rasanya di suatu paroki, entah caranya bagaimana - para gembala setempat harus memikirkan solusinya, umat harus pernah mendapatkan penjelasan tentang TPE yang seharusnya itu. Entah itu diberikan secara sistematis, misalnya dalam suatu lokakarya atau sejenisnya, ataupun melalui katekese lingkungan, wilayah atau kelompok kategorial; ataupun secara pelan-pelan, misalnya disisipkan melalui homili/khotbah, atau melalui pengumuman atau pengantar Perayaan Ekaristi.

c. Kalau (a) dan (b) tidak dilakukan, maka melihat praktik yang sekarang ada, kita bisa mengerti bahwa akhirnya memang akan banyak umat kurang mampu menghayati Misa dengan tepat. Mengapa? Pengetahuan yang dimiliki terbatas atau nol, atau malahan keliru. Tidak sedikit umat yang memiliki pengetahuan tentang Misa dari asumsinya sendiri dari pengamatan yang ia buat dan ikuti selama ia menjadi katolik dan mengikuti perayaan ekaristi. Soalnya menjadi serius kalau ternyata selama ini ia mengikuti Misa secara keliru, seperti:
- datang terlambat - karena tidak pernah ada yang menegur dan ikut antri komuni pun diberi, ya akhirnya berkesimpulan bahwa telat itu biasa, yang penting masih bisa ikut komuni.
- Atau melihat bahwa Koor Anu membawakan lagu ITU maka artinya lagu ITU boleh dipakai dalam Misa. Paling parah kalau ternyata itu adalah menyangkut bagian ordinarium dan diganti dengan lagu yang tidak sesuai dengan TPE.
- Melihat bahwa si ANU ke gereja dengan pakaian "seperti itu" - ternyata tidak ditegur ..... artinya boleh.
- Melihat bahwa banyak UMAT ngobrol selama misa, atau santai di gereja ...... artinya boleh dan biasa.

Akhirnya kalau seseorang dibesarkan dalam paham dan pengalaman salah semacam ini, tidak mustahil bahwa akhirnya respect atau hormat akan ekaristi juga kurang atau keliru. Bahkan akhirnya pemahaman tentang hakekat ekaristi dan sakramen-sakramen lain pun bisa keliru. Misa dilihat sebagai Perayaan saja, rutinitas tanpa perlu spiritualitas tertentu. Praktik itu akan kelihatan kalau ada misa khusus atau perayaan, di mana seringkali Misa dikorbankan demi perayaan khusus atau intensi khusus itu. Contoh:
- Misa perkawinan seringkali banyak hal tidak pas dan tidak menghormati Ekaristi sendiri. Mereka sibuk dengan hal remeh temeh, seperti soal pakaian, soal duduknya pengantin, soal dokumentasi, pengiring, dll. Bahkan tidak jarang koor menjadi lebih dominan daripada Liturgi Ekaristinya. Imam yang sedang mengucapkan rumus-rumus liturgis itu tenggelam dan kalah oleh kehebatan sound system, penyanyi atau koor.
- Dalam misa khusus - seringkali Misa hanya seolah tempelan saja, dan fokus lebih ke acara khusus itu: ulang tahun, pemberkatan anu, kelompok kategorial tertentu .... dlsb.