Masih ingat istilah habitus baru?? Terus terang aja hanya Gereja Katolik yang berani mengajak umatnya secara khusus dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk memulai hidup dengan adab habitus baru. Ini bermula dari hancurnya tatanan masyarakat Indonesia yang dinilai cukup menyedihkan baik di level atas yaitu pejabat negara hingga grass root di masyarakat paling bawah. Bahaya laten korupsi dan suap menyuap atas suatu aktivitas demi kepentingan pribadi seperti sudah biasa.... biasa untuk dibiarkan. Kronis banget memang!!!
Kasus yang paling hangat adalah konspirasi suap menyuap jual beli perkara Anggodo dengan Polri dan KPK yang satu sama lain saling menjatuhkan. Sampeyan bayangkan sendiri di level paling atas saja sudah sedemikian vulgarnya kasus ini terbongkar tetapi tetap saja tidak ada kejelasan siapa salah dan siapa benar. Masyarakat kita sudah benar-benar apatis melihat keadaan seperti ini, apalagi terhadap kepolisian Indonesia yang seharusnya menggawangi hukum malah berusaha menciptakan gol bunuh diri dengan meminjam kaki orang lain. Jika sudah demikian, sosok mana yang harus dijadikan teladan?
Alih-alih berpijak pada jalur hukum, mereka seperti ditelanjangi dan dibukakan sendiri borok tahunan yang cukup kronis mengudara dan membaui kehidupan masyarakat. Baunya itu sudah ngga enak banget. Mau muntah rasanya. Jika aku seorang dokter bedah sudah aku amputasi sumber bau itu. Hehehe... presiden sudah melakukannya sebelum kuminta. Jajaran polisi dirombak demi mengamputasi sumber borok dan masuk ke peti selamanya sampai pensiun. Semoga saja tetap demikian.
Kembali ke adab habitus baru. Gereja rupanya sudah melihat habitus lama yang korup, suap, egois, hedonisme, dsb itu menjadikan manusia seperti budak duniawi sehingga lupa hakikat hidup manusia yang sebenarnya. Gereja Katolik sudah memikirkan gejala ini jauh sebelum orang lain baru memulai memikirkannya. Kalau adapun tidak seberani itu.
Ajakan Gereja ini tidaklah mudah. Apalagi membangun adab habitus baru ini di setiap komunitas di mana kita tinggal. Ambil contoh saja di tingkat lingkungan, yaitu sel terendah dalam Gereja Katolik tidaklah mudah mengajak orang itu membangun habitus baru ini. Maka bisa saja seorang ketua lingkungan akan bersikap cuek bebek karena warganya masih seperti yang dulu.
Ada seoran rekan anggota Dewan Paroki Pleno bertanya kepadaku : "Mas, habitus baru yang cocok dilakukan di lingkungan apa aja sih?" Lho kokh membangun habitus baru kokh milih-milih mana yang cocok dan mana yang tidak. Wah ini pasti ada yang salah tafsir, pikirku.
Padahal adab habitus baru itu khan membangun sikap hidup baru dengan meninggalkan sikap hidup lama yang tidak sejalan dengan ajaran Gereja. Apa saja yang tidak sejalan dengan ajaran Gereja itu BANYAKKKKK...! Tidak menjual belikan perkara di pengadilan juga habitus baru, kenapa tidak?