
Sehari-harinya, Jakarta selalu kekurangan air di musim kemarau dan banjir di musim penghujan. Dalam lima tahun terakhir, Jakarta dilanda banjir besar sebanyak dua kali yaitu tahun 2002 dan 2007
Baik kekurangan air maupun banjir dianggap masalah air. Solusi yang dicari juga terbatas pada penanganan masalah air, seperti membuat bendungan dan banjir kanal. Padahal masalah air hanyalah sebuah gejala dalam sindrom terlampauinya daya dukung lingkungan hidup.
Untuk hidupnya, makhluk hidup membutuhkan air, udara, pangan dan ruang hidup. Bagi manusia, air tidak hanya untuk minum, melainkan juga untuk mandi, mencuci, dan produksi pangan, kertas, pakaian, dll. Makin “modern” seseorang, makin besar kebutuhan airnya.
Di Jakarta air PAM tidak mencukupi. Airpun pompa dari dalam tanah. Dan Jakarta mengalami keamblesan tanah. Kelebihan air di musim hujan makin sulit untuk dibuang ke laut. Jakarta yang landai dan sebagian wilayahnya terletak di bawah permukaan laut, makin rentan terhadap banjir. Kemablesan tanah merusak riul Jakarta. Terjadilah pencemaran air tanah. Air PAM pun tercemar.
Penggunaan air telah melampaui daya dukung
Ruang hidup diperlukan oleh semua makhluk hidup. Jakarta mengalami pertumbuhan eksponensial. Jakarta menjadi penuh sesak. Bantaran sungai dipenuhi perumahan. Sungai menyempit. Ruang Hijau Terbuka (RTH) makin berkurang. Produksi sampah meningkat. Sungai di Jakarta tersumbat sampah dan eceng gondok yang tumbuh subur. Banjir meningkat. Limbah MCK juga merupakan sumber penyakit muntah berak.
Rumah-rumah tangga di Jakarta berusaha memperluas rumahnya akibat kebutuhan ruang tinggal yang semakin besar karena semakin banyaknya penghuni. Maka halaman rumah dikorbankan, menciut sampai minimal, bahkan habis sama sekali. Kalau toh masih ada, biasanya diperkeras dengan semen atau beton sehingga tanah terbuka hilang. Yang tersisa pelataran semen tak ubahnya bangunan tanpa atap. Muncullah problem besar yaitu berkurangnya (dan hilangnya) lahan untuk peresapan air hujan.
Maka banjir menjadi tak terelakkan karena semua air hujan dialirkan (tidak sengaja) ke tempat-tempat yang lebih rendah, bukan diresapkan ke dalam tanah. Air hujan berkumpul membentuk genangan besar yang perlu waktu untuk pergi menuju badan-badan air yang alamiah (sungai, danau, laut) maupun buatan (banjir kanal, waduk buatan). Genangan besar yang tidak pada tempatnya, itulah banjir. Tidak perlu dikatakan lagi seberapa merugikannya banjir yang melanda kota kita. Ikut diterjang banjir atau tidak, seluruh warga kota merasakan penderitaan dalam berbagai bentuk. Tidak terkecuali, bahkan Presidenpun terlihat kerepotan dalam suatu perjalanan menembus banjir menuju istana kepresidenan.
Tertutupnya lahan untuk resapan air hujan tidak hanya itu. Jakarta defisit (kekurangan/tekor) air tanah. Itulah yang terjadi, karena jumlah air yang diresapkan ke dalam tanah begitu sedikit dibandingkan dengan jumlah air yang terus menerus disedot dari dalam tanah melalui pompa air/pompa bor/ sumur. Ibarat rekening kita di bank yang tidak pernah diisi melalui setoran, tapi dananya ditarik terus, dikurang terus. Tidak mengherankan jika suatu hari ketika menarik dana di ATM, yang muncul dilayar ATM : ”Maaf dana anda tidak mencukupi untuk penarikan ini”
Kebutuhan akan air bersih untuk berbagai kehidupan kota Jakarta yang dipenuhi oleh PDAM hanya sekitar 50% saja. Sisanya disedot masyarakat langsung dari perut bumi. Kurangnya pasokan air hujan yang meresap ke dalam tanah, membuat masyarakat harus menggali sumurnya lebih dalam lagi setiap musim kemarau. Dari rata-rata belasan meter kedalaman sumur pada tahun 1970an, sekarang sudah mencapai rata-rata 40an meter untuk memperoleh air bersih. Artinya diperlukan pompa yang lebih besar, lebihmahalm dengan daya listrik yang lebih tinggi. Itulah sebabnya biaya hidup di Jakarta semakin terasa mencekik karena untuk mendapatkan air yang begitu vital untuk kehidupan kita, harus dikeluarkan ongkos yang kian hari kian mahal saja.
Kurangnya air dalam tanah meninggalkan banyak jalur dan rongga melompong dalam tanah. Kekosongan ini mengundang masukknya air laut (interusi) yang asin dalam tanah kita. Maka sumur menjadi berair asin padahal sebelumnya tawar. Kecuali itu, rongga-rongga mengeroposkan kekuatan tanah dalam mendukung struktur tanah dan abngunan di atasnya. Di semua tempat di Jakarta terjadilah keamblesan tanah dengan berbagai kedalaman. Dari tahun 1983 tercatat 40cm s/d 180cm tanah yang ambles (data Dinas Pertambangan DKI Jakarta). Sudah barang tentu keamblesan merusakkan bangunan, menambah resiko ambruknya bangunan berikut instalasi yang tertanam dalam tanah. (Berita terbaru adalah amblesannya Gedung Sarinah, Jakarta)
Air menjadi masalah serius di Jakarta. Bagaimana mengatasinya? Dapatkah masyarakat turut ambil bagian di dalam mengatasi malasah air di Jakarta ini? Jawabnya singkat : “Masyarakat dapat dan harus melakukan langkah nyata untuk menyelamatkan Jakarta dari masalah air ini” Mengharapkan hanya pada penanganan oleh Pemda DKI sungguh sikap yang tidak bijaksana bahkan sikap yang salah, karena kemampuan pemerintah daerah sangat terbatas untuk menangani penduduk yang berjumlah 10 juta orang.
Berikut langkah-langkah nyata yang harus dilakukan masyarakat setiap rumah :
1. Buat saluran resapan sebanyak mungkin.
Lubang Resapan Biopori dapat dibuat untuk memulai pembuatan saluran resapan ke dalam tanah jika sulit untuk membangun sumur resapan.
2. Terapkan prinsip 4 R pengelolaan air
- REDUCE (hemat air). Gunakan air sehemat mungkin. Cegah kebocoran saluran air.
- REUSE (gunakan air) Air bekas mandi dapat dikumpulkan untuk mengelontor WC. Tampung air hujan dalam sumur tendon, gunakan sebagai cadangan air di musim kemarau.
- RECYCLE (daur ulang air) Air bekas mandi dengan pengolahan sederhan dapat digunakan untuk menyiram tanaman, mencuci mobil, dsb. Gunakan filter untuk menyaring atau tumbuhan/ikan untuk memperbaiki kondisi kandungan biologis atau kimiawi air.
- RECHARGE (resapkan air hujan ke dalam tanah). Air hujan yang melalui talang langsung dialirkan ke dalam sumur resapan. Dan tanam pohon sebanyak-banyaknya karena pohon dengan sendirinya memperbaiki lingkungan (air, tanah, udara) , termasuk menambah cadangan air di permukaan.
Demikianlah catatan ringkas mengenai situasi di Jakarta yang sangat memprihatinkan, dan yang lebih penting, cara yang dapat kita lakukan untuk mengatasinya. Mari mengubah cara pandang kita kepada air. CEgah kekurangan air dan cegah banjir, melalui satu cara yang sama : RESAPKAN AIR KE DALAM TANAH SEBANYAK MUNGKIN
Nara Sumber :
- Workshop Gerakan Habitus Bersih dan Sehat : “Mengubah Sampah jadi rupiah” Paroki St. Aloysius Gonzaga Cijantung - oleh Bintang A. Nugroho (Ketua Pepulih – Perkumpulan Pemerhati dan Peduli Lingkungan Hidup), 20 April 2008
- Air Jakarta : Sebuah sindrom terlampauinya daya dukung – oleh Prof Otto Sumarwoto, 2007