MALL BAIT ALLAH
Masih ingat kisah Yesus mengobrak abrik para pedagang di Bait Allah di kota Yerusalem? Kisah ini bukan isapan jempol. Ini benar-benar terjadi pada 2000 tahun yang lalu. Kisah ini merupakan babak awal menjelang masa-masa penganiayaan terhadap Yesus di mana ketika Dia memasuki kota Yerusalem, banyak umat Israel mengelu-elukan Dia dengan suara nyaring : “Hosana! Anak Daud!” sambil menggelar daun-daun palma di sepanjang jalan yang akan dilewati Yesus hingga memasuki kota Yerusalem.
Di kota inilah Dia melihat kejanggalan yang nyata-nyata terjadi di depan mataNya di mana Bait Allah, yang menurut Kitab Yesaya 56:7 sebagai rumah doa bagi bangsa-bangsa, telah berubah menjadi tempat orang berdagang. Situasi ini mungkin sangat mirip dengan pasar induk Kramat Jati atau kalau ingin agak lebih 'resikan' sedikit ya.. seperti mall-mall yang banyak muncul di Jakarta. Bisa dibayangkan betapa rumah doa yang seharusnya lebih sakral itu berubah menjadi benar-benar profan. Lalu pertanyaannya, suasana doa yang seperti apa jika rumahnya penuh hiruk pikuk tanpa sedikitpun menghormati nilai sakral yang dibangun sebagai suatu rumah doa? Maka aku setuju jika Yesus mengobrak abrik barang dagangan mereka tanpa harus mengganti uang sesenpun.
Entah kebiasaan jelek manusia itu memang dari dulu ngga bisa berubah atau karena alasan tersendiri sehingga kisah yang sama bisa terulang kembali di rumah-rumah doa hingga jaman ini. Ngga mesjid, ngga gereja, kalau letaknya memiliki nilai ekonomis, pagelaran barang-barang jualan hampir dipastikan muncul dengan sendirinya. Beruntung jika pagelaran itu tidak mengganggu jalannya ritual doa sehingga tetap exis setelah ritual doa selesai dan kemudian mulai dengan ritual yang baru yaitu tawar menawar barang dagangan.
Ada yang lebih gila lagi dan ini benar-benar terjadi di suatu gereja Katolik di pinggiran selatan Jakarta di mana orang bisa-bisanya jualan barang disela-sela ritual doa. Dengan mengatasnamakan pencarian dana untuk kegiatan Gereja, jualan di dalam saat suasana yang seharusnya sakral itu bisa-bisanya terlaksana tanpa sedikitpun merasa berdosa. Kristus benar-benar teraniaya dengan terobrak abriknya suasana sakral yang menjadi seperti pertunjukkan sebuah konser kecil. Apakah ini wujud balas dendam manusia ketika dagangannya diobrak-abrik Yesus di Bait Allah kini mereka balas mengobrak-abrik suasana sakral dengan barang-barang dagangannya. Luar biasa! Tapi aku malah ngga bisa bicara apa-apa.
“Ah... tahi kucinglah semuanya itu! Aku mau berdoa tapi bukan dengan tahi kucing seperti ini!”
Aku benar-benar masih gamang menyaksikan semua yang terjadi. Aku jadi ragu sekarang, jangan-jangan akupun pernah melakukan hal yang aku sebut tahi kucing itu tadi. Mungkin aku tidak berdagang di sana tetapi telah menjadi bagian dalam suasana pasar atau mall. Mengapa aku jadi lupa ketika misa aku memakai kaos super ketat yang menampilkan lekukan buah dada dan ujung puting yang tersamar di baliknya. Atau bisa jadi dua bulan yang lalu aku pernah pake celana ketat yang kalau berlutut celana dalam merk Amway warna merah muda terlihat dengan jelas. Pernah juga sih aku membawa keponakanku masuk dalam misa dengan membawa balon dan sebungkus chicky serta minuman aqua.
Ah kenapa harus jadi orang sok suci.
Biarkan saja itu terjadi.
Itulah mengapa aku tidak bisa bicara apa-apa ketika orang mulai berjualan saat misa berlangsung, karena akupun sering memperlakukan Bait Allah ini layaknya mall-mall yang sering aku singgahi.
Mall Bait Allah ..hm..m... nama yang bagus. Lalu ke mana aku harus mencari Tuhan jika semua tempat sudah menjadi sarang penyamun?
Masih ingat kisah Yesus mengobrak abrik para pedagang di Bait Allah di kota Yerusalem? Kisah ini bukan isapan jempol. Ini benar-benar terjadi pada 2000 tahun yang lalu. Kisah ini merupakan babak awal menjelang masa-masa penganiayaan terhadap Yesus di mana ketika Dia memasuki kota Yerusalem, banyak umat Israel mengelu-elukan Dia dengan suara nyaring : “Hosana! Anak Daud!” sambil menggelar daun-daun palma di sepanjang jalan yang akan dilewati Yesus hingga memasuki kota Yerusalem.
Di kota inilah Dia melihat kejanggalan yang nyata-nyata terjadi di depan mataNya di mana Bait Allah, yang menurut Kitab Yesaya 56:7 sebagai rumah doa bagi bangsa-bangsa, telah berubah menjadi tempat orang berdagang. Situasi ini mungkin sangat mirip dengan pasar induk Kramat Jati atau kalau ingin agak lebih 'resikan' sedikit ya.. seperti mall-mall yang banyak muncul di Jakarta. Bisa dibayangkan betapa rumah doa yang seharusnya lebih sakral itu berubah menjadi benar-benar profan. Lalu pertanyaannya, suasana doa yang seperti apa jika rumahnya penuh hiruk pikuk tanpa sedikitpun menghormati nilai sakral yang dibangun sebagai suatu rumah doa? Maka aku setuju jika Yesus mengobrak abrik barang dagangan mereka tanpa harus mengganti uang sesenpun.
Entah kebiasaan jelek manusia itu memang dari dulu ngga bisa berubah atau karena alasan tersendiri sehingga kisah yang sama bisa terulang kembali di rumah-rumah doa hingga jaman ini. Ngga mesjid, ngga gereja, kalau letaknya memiliki nilai ekonomis, pagelaran barang-barang jualan hampir dipastikan muncul dengan sendirinya. Beruntung jika pagelaran itu tidak mengganggu jalannya ritual doa sehingga tetap exis setelah ritual doa selesai dan kemudian mulai dengan ritual yang baru yaitu tawar menawar barang dagangan.
Ada yang lebih gila lagi dan ini benar-benar terjadi di suatu gereja Katolik di pinggiran selatan Jakarta di mana orang bisa-bisanya jualan barang disela-sela ritual doa. Dengan mengatasnamakan pencarian dana untuk kegiatan Gereja, jualan di dalam saat suasana yang seharusnya sakral itu bisa-bisanya terlaksana tanpa sedikitpun merasa berdosa. Kristus benar-benar teraniaya dengan terobrak abriknya suasana sakral yang menjadi seperti pertunjukkan sebuah konser kecil. Apakah ini wujud balas dendam manusia ketika dagangannya diobrak-abrik Yesus di Bait Allah kini mereka balas mengobrak-abrik suasana sakral dengan barang-barang dagangannya. Luar biasa! Tapi aku malah ngga bisa bicara apa-apa.
“Ah... tahi kucinglah semuanya itu! Aku mau berdoa tapi bukan dengan tahi kucing seperti ini!”
Aku benar-benar masih gamang menyaksikan semua yang terjadi. Aku jadi ragu sekarang, jangan-jangan akupun pernah melakukan hal yang aku sebut tahi kucing itu tadi. Mungkin aku tidak berdagang di sana tetapi telah menjadi bagian dalam suasana pasar atau mall. Mengapa aku jadi lupa ketika misa aku memakai kaos super ketat yang menampilkan lekukan buah dada dan ujung puting yang tersamar di baliknya. Atau bisa jadi dua bulan yang lalu aku pernah pake celana ketat yang kalau berlutut celana dalam merk Amway warna merah muda terlihat dengan jelas. Pernah juga sih aku membawa keponakanku masuk dalam misa dengan membawa balon dan sebungkus chicky serta minuman aqua.
Ah kenapa harus jadi orang sok suci.
Biarkan saja itu terjadi.
Itulah mengapa aku tidak bisa bicara apa-apa ketika orang mulai berjualan saat misa berlangsung, karena akupun sering memperlakukan Bait Allah ini layaknya mall-mall yang sering aku singgahi.
Mall Bait Allah ..hm..m... nama yang bagus. Lalu ke mana aku harus mencari Tuhan jika semua tempat sudah menjadi sarang penyamun?