Monday, September 25, 2006

TIBO DAN KISAH SENGSARA ANAK MUDA

Lama aku memahami kisah Tibo ini. Seorang pendatang dari Flores yang mencoba mengadu nasib di tanah seberang di Poso, Sulawesi akhirnya harus menanggung mati yang bukan karena kesalahannya sendiri. Kasus yang dialaminya memang sangat kental berbau politis, sementara dirinya tidak pernah tahu mengapa perlakuan terhadapnya begitu menjadi yang utama sebagai pelaku pembantaian massa.

Pengadilan 'ecek-ecek' akhirnya membawanya ke tiang pembantaian resmi meski berbagai upaya mencari keadilan terus digemakan namun sudah tertutup. Ini benar-benar 'kartu mati' yang tidak bisa diubah sedikitpun meski itu ditangan penguasa sekalipun. 'Sandiwara' itu sudah membuat akhir cerita di mana mengharuskan pelaku mati di ujung peluru. Flot cerita boleh maju boleh juga mundur yang penting harus berakhir seperti itu.

Duh! Aku kini benar-benar kesulitan membedakan mana Tuhan dan mana manusia.

Tibo mungkin bukan orang pertama yang teraniaya karena tindakan ketidakadilan entah dari penguasa atau sesamanya. Tetapi kisah Tibo ini seakan memutar ulang kenangan pahit yang telah terjadi ribuan tahun yang lalu ketika seorang muda yang penuh bijak, dia tidak terkenal dalam dunia politik harus mati demi politik. Lagi-lagi hebatnya sinergi antara agama dengan kekuasaan mampu menciptakan bentuk ketidakadilan bagi manusia. Saat itu yang namanya konflik entah agama atau apapun bisa menjadi momok yang menakutkan bagi sekelompok orang yang sudah 'kadung' ayem diam dalam kesejukan doktrin. Merasa bahwa akan ada 'bangsat' di bangkunya maka yang ada di kepalanya adalah harus segera dilakukan pembersihan. Pengadilan rekayasapun digelar yang harus menghasilkan suatu hukuman mati. Dan anak muda yang penuh bijak, yang oleh sesamanya di bilang 'bangsat' itu dikorbankan dihadapan penguasa dan mati mengenaskan di tiang salib.

Kisah Tibo ini mau tidak mau, suka tidak suka, membentuk generalisasi berpikir bahwa sejarah suram masa lalu masih terus terulang dan terulang dari zaman ke zaman. Lepas dari orang mau bicara bahwa semuanya itu sudah menjadi garis hidup yang harus terjadi dan dijadikan oleh si pemberi hidup, tetapi kedua kisah yang berlainan zaman itu benar-benar saling mengulang kisah yang sama.

sama-sama orang kecil yang tidak terkenal,
sama-sama mengalami pengadilan 'ecek-ecek'
sama-sama korban keserakahan dan kekuasaaan,
sama-sama tak berdaya di hadapan penguasa,
sama-sama menjadi korban politik
dan sama-sama harus mati demi hukum

Bedanya ......
Anak muda berumur 33 tahun dan berjenggot itu mampu mengalahkan kematian dengan kebangkitannya dari kubur yang membuat namanya tetap dikagumi manusia sejagad ini. Tetapi Tibo, si petani tua ini, gaung-gaung setelah kematiannya semakin lama semakin hilang

Saturday, September 02, 2006

DA VINCI CODE. HA..HA..HA..(3)

Suatu hari seorang ibu datang menghampiri aku ketika pertemuan doa di lingkungan baru saja usai. Ada perasaan bangga sekaligus puas terbaca di wajahnya ketika ia mulai bercerita.

"Mas, kemarin anak saya nonton film Da Vinci Code bersama teman-temannya di salah satu bioskop 21. Sehabis menonton dia lalu menemui saya dan bertanya demikian : Ma, memangnya Yesus itu kawin sama Maria Magdalena, yach?" Ibu ini mulai bercerita dengan semangatnya.

"Lalu ibu bilang apa?" tanyaku.

"Terus terang aja Mas, seandainya saya tidak datang dalam pertemuan di lingkungan itu, mungkin saya tidak bisa menjawab secara tegas seperti yang pernah disampaikan oleh Anda dulu itu."

"Memangnya ibu jawab apa?" tanyaku lagi.

"Saya bilang aja bahwa itu hanya sebuah cerita fiksi yang tidak ada bedanya dengan cerita Kancil dan Buaya. Karena pengarangnya kere maka dia buat cerita yang menghebohkan agar bukunya laku dan dia tidak kere lagi. Sama dengan cerita Anda, khan?"

"Lalu anak ibu percaya?" tanyaku penasaran.

"Mulanya dia ngga percaya dengan jawaban saya, tetapi karena isi cerita dalam film sungguh amat berbeda dengan cerita yang ada dalam Kitab Suci, sepertinya dia memahaminya."

"Sepertinya...?" sahutku. Ibu harus terus memberikan pemahaman yang benar dari sebuah cerita yang tidak benar agar dia tidak terombang-ambing dengan ketidakbenaran."

"Iya, sepertinya saya harus begitu. Semoga saya bisa menjelaskannya lebih lanjut. Terima kasih atas pencerahan yang saya terima."

Sang Ibu menghentikan ceritanya lalu menikmati hidangan yang tersedia di meja. Luar biasa ibu ini berusaha meluruskan sesuatu yang salah dengan penjelasan semampunya. Meski tidak sehebat seorang ahli tetapi dengan kemampuannya dia sudah cukup kritis dalam menanggapi suatu keganjalan. Aku ngga bisa membayangkan seandainya dia tidak pernah tahu akan hal itu, apa yang bisa dia jelaskan kepada anaknya. Atau barangkali banyak juga orang yang tidak mengerti akhirnya tersesat tanpa dia sadari.

"Penyesatan memang ada, tetapi celakanya yang melakukannya"