TIBO DAN KISAH SENGSARA ANAK MUDA
Lama aku memahami kisah Tibo ini. Seorang pendatang dari Flores yang mencoba mengadu nasib di tanah seberang di Poso, Sulawesi akhirnya harus menanggung mati yang bukan karena kesalahannya sendiri. Kasus yang dialaminya memang sangat kental berbau politis, sementara dirinya tidak pernah tahu mengapa perlakuan terhadapnya begitu menjadi yang utama sebagai pelaku pembantaian massa.
Pengadilan 'ecek-ecek' akhirnya membawanya ke tiang pembantaian resmi meski berbagai upaya mencari keadilan terus digemakan namun sudah tertutup. Ini benar-benar 'kartu mati' yang tidak bisa diubah sedikitpun meski itu ditangan penguasa sekalipun. 'Sandiwara' itu sudah membuat akhir cerita di mana mengharuskan pelaku mati di ujung peluru. Flot cerita boleh maju boleh juga mundur yang penting harus berakhir seperti itu.
Duh! Aku kini benar-benar kesulitan membedakan mana Tuhan dan mana manusia.
Tibo mungkin bukan orang pertama yang teraniaya karena tindakan ketidakadilan entah dari penguasa atau sesamanya. Tetapi kisah Tibo ini seakan memutar ulang kenangan pahit yang telah terjadi ribuan tahun yang lalu ketika seorang muda yang penuh bijak, dia tidak terkenal dalam dunia politik harus mati demi politik. Lagi-lagi hebatnya sinergi antara agama dengan kekuasaan mampu menciptakan bentuk ketidakadilan bagi manusia. Saat itu yang namanya konflik entah agama atau apapun bisa menjadi momok yang menakutkan bagi sekelompok orang yang sudah 'kadung' ayem diam dalam kesejukan doktrin. Merasa bahwa akan ada 'bangsat' di bangkunya maka yang ada di kepalanya adalah harus segera dilakukan pembersihan. Pengadilan rekayasapun digelar yang harus menghasilkan suatu hukuman mati. Dan anak muda yang penuh bijak, yang oleh sesamanya di bilang 'bangsat' itu dikorbankan dihadapan penguasa dan mati mengenaskan di tiang salib.
Kisah Tibo ini mau tidak mau, suka tidak suka, membentuk generalisasi berpikir bahwa sejarah suram masa lalu masih terus terulang dan terulang dari zaman ke zaman. Lepas dari orang mau bicara bahwa semuanya itu sudah menjadi garis hidup yang harus terjadi dan dijadikan oleh si pemberi hidup, tetapi kedua kisah yang berlainan zaman itu benar-benar saling mengulang kisah yang sama.
sama-sama orang kecil yang tidak terkenal,
sama-sama mengalami pengadilan 'ecek-ecek'
sama-sama korban keserakahan dan kekuasaaan,
sama-sama tak berdaya di hadapan penguasa,
sama-sama menjadi korban politik
dan sama-sama harus mati demi hukum
Bedanya ......
Anak muda berumur 33 tahun dan berjenggot itu mampu mengalahkan kematian dengan kebangkitannya dari kubur yang membuat namanya tetap dikagumi manusia sejagad ini. Tetapi Tibo, si petani tua ini, gaung-gaung setelah kematiannya semakin lama semakin hilang