Wednesday, August 16, 2006

LESTARI (2)
Dan aku mencarimu di seribu kota

Waktu terus berjalan sementara perjalananku masih terseok-seok karena tak mampu mengimbangi langkahnya waktu yang tenang yang lajunya tak bisa dihalangi. Entah sudah bilangan ke berapa waktu kuhabiskan untuk mencarimu, seorang Lestari yang pernah mampir di hatiku.

Sayup-sayup aku dengarkan lagu ‘SEWU KUTA’ yang dilantunkan oleh Didi Kempot. Musik campursari gaya Solo asli itu seperti membelah kegundahanku manakala frustasi ini kian meledak-ledak karena seperti tiada harap sedikitpun untuk berjumpa denganmu.

Syair lagunya begitu mengharubiru menyobek hati dan jiwa.

Sewu kuta wis tak liwati
Sewu ati wis tak lakoni
Nanging kabeh padha ora ngerteni
Lungamu ning ngendhi

Pirang tahun anggonku nggolekake
Seprene durung bisa nemoni

Ini memang kiasan betapa mencarimu amat sulit dan hampir tak bisa dilakukan. Siapa yang sanggup melintasi seribu kota kalau tak satupun orang tahu di mana kamu berada?

Wis tak coba nglalekake
Jenengmu saka atiku
Saktenane aku ora ngapusi
Isih tresna sliramu

Lestari,
Nama itu sudah terlanjur tertulis dalam prasasti hatiku dan tak mungkin bisa terhapus. Mei 1988 sudah menjadi sejarah dan melupakanmu saja rasanya tidak mungkin. Harus kuakui bahwa aku masih mencintaimu.

Umpamane kowe wis mulya
Lila... aku lila
Ya mung siji (sing) dadi panyuwunku
Aku pengin ketemu

Sanadyan wektu mung sadhelo
Tak anggo tombo kangen jroning dada
Sanadyan sakedheping mata
Tak anggo tamba kangen jroning dada

Seandainya kamu sudah bahagia, aku harus rela melepaskan dirimu. Namun sejak dalam pencarianku ini, hanya satu harapanku : Bisakah aku menemuimu sebentar saja walau hanya sekedipan mata sekalipun? Biarlah pertemuan ini kelak menjadi obat untuk melepas rinduku padamu.

Sepertinya seribu waktu telah terlampaui. Waktu malam, waktu siang, waktu tidur atau malah waktu terbangun. Kuputuskan untuk meninggalkan waktu dan mencarimu dalam seribu kota. Mungkin masih ada harapan yang bisa kuraih satu dalam seribu kota ini.

Jakarta, 2006