Thursday, June 22, 2006

DA VINCI CODE PHOBIA HA..HA..HA.. (1)

Siapa yang tidak mengetahui Da Vinci Code, sebuah buku karangan Dan Brown yang menghebohkan iman kekristenan di era millenium? Sebenarnya dunia Barat sudah mempertentangkan kehadiran buku ini sekitar tahun 2003, tetapi baru tahun ini orang Indonesia meramu polemik sehingga menjadi hangat begitu terjemahannya beredar luas ditambah dengan sedikit gosip agar menjadi best seller.

Gereja tidak pernah mengambil sikap menentang kehadiran buku itu, bahkan ketika filmnya beredar, sikapnya tetap konsisten. TIDAK MELARANG. Apa iya sikap begitu ada benarnya? Malah, temanku seorang Jesuit berkata demikian : “Untuk apa mendiskusikan suatu karya atau ide-ide yang asalnya dari khayalan si penulis. Semakin dibahas, semakin laris dia meraup untung dari kekonyolannya memlintir sejarah.”

Hmm.. dia benar, dan jika ini terjadi, ini jika ada lho, sungguh sangat naif bagi orang yang beriman selama puluhan tahun, berubah haluan hanya karena membaca buku konyol itu selama sehari. Tapi bagiku, karya Dan Brown ini tidak lebih dari sebuah novel-novel biasa.

Suatu ketika, aku ditelepon oleh kerabatku gara-gara anaknya membaca buku ini. Dia sempat agak marah padaku karena buku itu sengaja kupinjamkan kepada anaknya.

“Mas, sampeyan ini bagaimana sich, masak Dewi kamu kasih pinjam buku yang menyesatkan iman?” Suara dari seberang terdengar keras agak parau.

“Lho, buku itu khan cuma novel biasa, apa yang perlu ditakutkan?” jawabku

“Tapi isinya sungguh menyesatkan iman. Aku ngga rela kalo Dewi murtad setelah baca buku picisan pemberian sampeyan. Bagaimana aku menjelaskan semua ini?”

“Selama dia belum menjual imannya sebaiknya didiamkan saja” jawabku enteng.

“Lho, kokh malah begitu?” sahutnya.

“Ngga usah kuatir. Aku tahu bagaimana Dewi harus bersikap setelah membaca buku ini. Sebelum aku berikan, dia malah sudah tahu latar belakang pembuatannya. Dia cuma kepingin tahu seberapa konyol Dan Brown menulis novel kacangan itu. Hanya itu!” paparku dengan agak sedikit tinggi tensi suaraku. “Aku justru berharap Dewi mampu menyikapi hal ini dengan kebenaran yang utuh dan tidak mengamini khayalan belaka tetapi punya landasan sejarah yang benar. Siapa tahu dia malah bisa membuktikan bahwa Dan Brown salah. Dan lagi, mana mungkin orang bisa menjual imannya kepada sesuatu yang salah. Biarkan saja, Mas!”

Setelah aku ngomong begitu, kerabatku lalu diam dan dengan sedikit basa-basi dia menutup teleponnya.

Beberapa minggu setelah percakapan ditelepon itu, aku sengaja menemui Dewi untuk mengambil buku yang dipinjamnya itu setelah dia mengabari bahwa novel itu sudah selesai dibacanya. Gadis remaja ini tidak terlalu pandai tetapi cara berpikirnya cukup bijaksana untuk seusianya. Terbukti ketika dia kutanya mengenai isi novel Da Vinci Code, jawabannya sungguh diluar dugaanku.

“Om, ada yang lebih gila lagi ngga isinya ketimbang Da Vinci Code? Kirain isinya tentang kisah rumah tangga Yesus dengan Maria Magdalena, ngga tahunya cuma cerita rekayasa doank. Benar bahwa semua tempat yang diceritakan itu memiliki faktanya sendiri-sendiri kecuali perkawinan Yesus dan Maria Magdalena. Aku suka bukunya tetapi tidak mengamini isinya. Selain itu, apa untungnya mengamini buku yang pengarangnya ngga bagi-bagi keuntungan hasil pengaminan orang. Orang yang bernama Dan Brown itu tidak lebih dari seorang koruptor sejarah.